TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Ekonomi Kwik Kian Gie menilai, pemerintah sengaja mengkambinghitamkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai penyebab twin defisit neraca Indonesia. Menurutnya, dibalik penaikan BBM pemerintah ikut mengambil keuntungan.
"Pemerintah dikatakan merugi ketika harus 'nombok'. Kenyataannya dengan menjual Rp 8.500 per liter, pemerintah masih untung besar," kata Kwik kepada wartawan di Jakarta, Selasa (25/11/2014).
Lebih lanjut, dirinya menjelaskan secara logis dan ekonomis perhitungan harga minyak mentah dunia hingga sampai ketangan konsumen di Indonesia. Menurutnya, harga minyak mentah dunia lebih bisa dijadikan patokan daripada MOPS atau harga produk jadi BBM di Singapura.
"Harga minyak mentah dunia setiap menit itu berubah, tapi di Asia masih ada yang menggunakan MOPS di Singapura," ujar Kwik.
Berdasarkan hasil rata-rata harga minyak mentah dunia USD80 bbl. Jika di kurs kan ke rupiah, 1 barel setara dengan 159 liter maka per liternya di harga Rp 6.086 dengan kurs Rp 12.100.
Biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting) ditambah biaya pengilangan (refinering) ditambah lagi dengan biaya transportasi rata-rata ke semua pompa bensin adalah USD24,1 per barel (laman ESDM) atau jika dalam rupiah 24,1:159 x Rp 12.100 = Rp1.834 per liter.
"Jadi Pemerintah kalau impor dari minyak mentah dunia untung Rp 580," ujarnya.
Namun jika berpijak pada harga MOPS di Singapura, harga rata-rata FOB Singapura USD88,80 bbl, Ongkos Angkut USD1,00 bbl, Harga CNF Jakarta, USD89,80 bbl atau setara Rp6.833,84 per liter. Selain itu ada biaya distribusi sebesar Rp600 per liter sehingga biaya hingga ke SPBU Rp7.433,84 per liter.
Menurutnya, pemerintah juga mengenakan Pajak PPN, PBBKB (15 persen) sebesar Rp1.115,08 per liter sedangkan pemerintah menjual BBM di SPBU Rp8.548,91 per liter. Dari perhitungan tersebut, harga BBM jenis Premium tidak disubsidi lagi, bahkan pemerintah mendapatkan keuntungan sebesar Rp1.115,08 dari pajak PPN dan PBBKB yang dibayar oleh rakyat.