TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Divisi Penyaluran Bulog, Lely Pritasari, mengaku rencana pemerintah mengganti raskin (beras untuk masyarakat miskin) dengan E-Money tidak efisien. Sebab, selain masyarakat miskin belum tentu mampu memenuhi kebutuhan pangan, produsen raskin yakni petani tidak mendapatkan keuntungan.
"Wacana melakukan perubahan kebijakan, kami berharap lihat secara komprehensif. Penggantian e-money jadi tidak efisien karena dilindungi hanya hilir," ujar Lely, Rabu (3/12/2014).
Bulog dalam satu bulan menyalurkan 230 ribu ton raskin. Kebutuhan beras standar 124 kg kapita per tahun, raskin mendekati 10 persen dari kebutuhan secara nasional 2,6 juta ton per bulan.
Jika raskin dihapus, hal tersebut membuat inflasi naik. Karena hal tersebut berdampak kepada kebutuhan pasokan beras di dalam negeri.
"10 persen dikontribusikan raskin. Raskin memberi ke pasar, makanya raskin menjaga inflasi. Bukan hanya di hilir tapi di hulu," jelas Lely.
Selain inflasi, pekerja yang mendistirbusikan pengadaan raskin juga terancam kehilangan pekerjaan akibat adanya E-Money. Menurut Lely setidaknya ada 70 juta pegawai untuk pengadaan raskin.
"Jumlah terkait dari pengadaan buruh gudang pelaksana titik awal titik bagi, belum yang melakukan swakelola," kata Lely.