TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana konversi program beras untuk rakyat miskin (Raskin) menjadi e-money kembali mendapat kritik dari sejumlah kalangan. Kali ini disampaikan oleh Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo. Penghapusan program Raskin, menurut Sasmito, bisa berimbas pada kelangkaan beras di pasar dan menimbulkan inflasi yang cukup tinggi.
"Jika Raskin hilang, bisa diperkirakan penyediaan beras di masyarakat berkurang 10 persen. Karena beras termasuk komoditas yang mendekati in-elastis, maka hilangnya Raskin sangat berpengaruh pada harga beras umum,” ujarnya, Jumat (5/12/2014).
Inflasi yang cukup tinggi pernah terjadi pada 2010, ketika ada keterlambatan penyaluran Raskin selama dua bulan. Dalam data inflasi yang diterbitkan Bank Indonesia maupun BPS, juga diungkapkan bahwa sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia.
Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak, terutama dipengaruhi oleh sisi suplai (sisi penawaran) berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah.
Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas strategis, yakni komoditas energi dan bahan makanan. Pada November 2014, misalnya, bahan makanan menyumbang inflasi sebesar 0,45 persen.
Sasmito mengungkapkan, konsumsi Raskin sejak 2003 lalu mencapai 10 persen dari total konsumsi beras nasional. Dengan komposisi tersebut, maka bisa dipastikan penghapusan Raskin akan mendongkrak inflasi, sehingga menyebabkan kejutan bagi perekonomian masyarakat.
Sementara itu, pakar Ekonomi UI, Prof Sulastri Surono menilai, rencana penghapusan Raskin hanya akan menguntungkan kalangan perbankan dan belum tentu bisa mengentaskan sekitar 90 juta jiwa penduduk miskin yang selama ini terbantu kebutuhan pangannya oleh raskin.
”Program e-money hanya menguntungkan perbankan. Anggaran subsidi pangan sebesar Rp 20 triliun itu bisa dikelola perbankan. Ada perputaran uang di sana, dan jelas perbankan sangat diuntungkan. Tapi bisa gak e-money ini mengentaskan rakyat miskin? Saya ragu. Tetapi dengan program Raskin selama ini, sudah jelas bisa menjamin kebutuhan pangan masyarakat terjamin,” tuturnya.
Ia juga mengungkapkan berbagai kendala penerapan e-money yang tidak hanya merepotkan pemerintah pusat maupun daerah, tetapi juga bisa meresahkan masyarakat. “Kalau pun e-money ini hanya dikhususkan untuk membeli beras, tempat membelinya di mana? Apa di desa-desa terpencil bisa nyampe? Di India toko pemerintah sampai ke desa pelosok juga ada. Di Indonesia, dengan daerah kepulauan bakal banyak kendala,” paparnya.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, pemerintah sepertinya ingin meniru program food stamp (kupon makanan) yang diberikan secara cuma-cuma di Amerika. Di mana warga diberi kartu dan bisa membeli susu, kacang, telur dan bahan makanan lain dengan disubsidi pemerintah. Tetapi di Amerika, infrastukturnya telah siap tersedia.
“Kalau food stamp memberi subsidi pangan bagi warganya. Kalau Raskin kan memberi subsidi buat warga miskin, sekaligus menjaga stabilitas harga pangan dan membantu penjualan beras petani juga yang dilakukan oleh Bulog. Kalau Raskin diganti e-money, selain kendala infrastruktur, juga akan menghilangkan fungsi Bulog dan stabilitas harga pangan,” paparnya.
Ia meminta pemerintah mengkaji ulang rencana penggantian raskin dengan e-money. Karena menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi UI itu, Raskin cukup efektif dalam menjaga kebutuhan pangan masyarakat. “Hanya perlu dibenahi kualitas Raskin dan pola distribusinya saja,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Arif Satria mengungkapkan, program Raskin yang berjalan sejak tahun 2003 itu merupakan jaringan pengaman sosial (JPS) yang mutli fungsi. Tidak hanya efektif dalam mengendalikan inflasi, tetapi juga member jaminan pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyat miskin, sekaligus menjamin ketersediaan pasar bagi petani lokal. Jika Raskin dihapus, maka bukan hanya ancaman inflasi yang akan melanda Indonesia, tetapi juga kehancuran bagi para petani lokal, terlebih saat menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
“Kalau dengan e-money, berarti masyarakat miskin bebas membeli beras apa pun di pasar. Selama ini kan ada stabilisator harga beras yang dilakukan Bulog. Jika raskin dihapus, maka petani harus mampu bersaing dengan produk luar akibat MEA. Sementara besar kemungkinan harga beras dimainkan di pasaran. Misalnya saat beras langka, harga bisa meningkat drastis. Ini bisa memicu inflasi,” paparnya.
Ia menyarankan agar Raskin tetap dipertahankan sebagai mekanisme perlindungan petani dan masyarakat miskin dalam menghadapi MEA 2015. Sebab dengan program raskin, kata Arif, orang miskin mampu membeli beras dengan harga terjangkau, di sisi lain, para petani juga bisa menjual berasnya dengan harga yang layak, tanpa terpengaruhi musim panen atau paceklik.
“Penghapusan Raskin bakal meningkatkan permintaan beras di pasar. Hal ini otomatis memicu kenaikan harga beras bahkan juga kelangkaan beras di pasaran. Kalau spekulan sudah bermain, bukan hanya inflasi yang muncul,” ujarnya.