TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perhubungan memastikan kebijakan tarif batas bawah tiket pesawat akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Hal itu juga menjawab berbagai pertanyaan seputar spekulasi Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang mengambil kebijakan tersebut akibat jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 beberapa waktu lalu.
Bahkan, perubahan Peraturan Menteri (Permen) dari Nomor 51 jadi Permen Nomor 91 Tahun 2014 sudah direncanakan sebelum AirAsia QZ8501 jatuh.
Muhammad Alwi, Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Angkutan Udara Kementerian Perhubungan, mengatakan alasan tiket murah dihapuskan karena kurs mata uang rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Pada awalnya kurs rupiah diprediksi Rp 9.000 terhadap dollar AS, namun saat ini sudah mencapai di kisaran Rp 12.500
"Karena komponen yang ada terdiri dari beberapa item 90 persen memakai kurs dolar AS," ujar Alwi di kantor Kementerian Perhubungan, Kamis (8/1/2015).
Alwi memaparkan dengan adanya tarif batas bawah, maskapai bisa menggunakan pemasukannya untuk mendorong aspek keselamatan. Dalam hal ini, keuntungan yang didapatkan maskapai untuk premi asuransi dan gaji pesawat.
"Komponen yang ada antara lain sewa pesawat udara, premi asuransinya dan gaji awak pesawat dan gaji teknis pesawat dan biaya lain," ungkap Alwi.
Alwi mengungkapkan, kenaikan tarif batas bawah tersebut mulai berlaku sejak Peraturan Menteri 91 Tahun 2014 ditandatangani yaitu 30 Desember 2014.
"Implementasi berlaku sejak ditandatangani. Nanti dari para maskapai menyesuaikan. Sejak 3 hari lalu saya sudah soslialsiasi ke maskapai berjadwal tak berjadawal," pungkasnya.
Sebelumnya, Kemenhub telah memutuskan menaikkan tarif batas bawah sebesar 40 persen pada seluruh maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia. Hal ini tertuang Peraturan Menteri Perhubungan nomor 91 Tahun 2014 yang diteken Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.
Kebijakan Menhub Ignasius Jonan menerapkan tarif batas bawah tiket termurah pesawat telah mengundang pro-kontra. Kolega Jonan di pemerintahan, mulai dari Wakil Presiden Jusuf Kalla sampai Sofyan Djalil menilai kebijakan tersebut sudah tepat.
Sementara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) khawatir kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan maskapai yang melayani penerbangan full service sehingga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kemudian Indonesia National Air Carriers Association (INACA) menolak pernyataan Jonan yang menilai maskapai penerbangan bisa menjual tiket murah karena mengorbankan aspek teknis keselamatan penerbangan.