TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pundi-pundi pendapatan pemerintah daerah terus bertambah. Per 1 Januari 2014 merujuk UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pemerintah provinsi punya kewenangan memungut pajak rokok sebesar 10 persen dari tarif cukai rokok.
Pasal 27 sampai pasal 31 menyebutkan selain harus menyetorkan cukai rokok, produsen juga harus membayar pajak rokok 10 persen dari nilai cukainya. Masalahnya, penggunaan dana di derah sering tak tepat sasaran.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP), Maryati Abdullah, mengingatkan dengan mendapatkan limpahan dana pajak tembakau, ia meminta pemerintah daerah juga lebih fleksibel dari sisi penggunaannya.
Misal dana itu juga bisa dipakai untuk membantu petani tembakau atau industri tembakau di daerah. Tidak hanya digunakan untuk isu kesehatan alias untuk dampak eksternal dari tembakau saja.
"Tidak bisa dipungkiri dari sisi industri, ada industri kelas menengah ke bawah yang juga perlu dilindungi. Cukai rokok ini kan hampir setengah dari setoran migas nasional, angkanya mencapai Rp 150 triliun, sangat signifikan," ujar Maryati, Senin (26/1/2015).
Dengan adanya kapasitas fiskal yang bertambah, tentu saja pemerintah daerah juga harus membuat sektor prioritas dari dana PDRD yang didapat. Jangan sampai anggaran yang mencapai belasan triliun itu tidak jelas peruntukannya.
"Pengawasan anggaran itu perlu diperketat. Memang sistem anggaran sekarang sudah berbasis kinerja. Tapi harus jelas indikator penggunaan anggarannya, bisa dilihat publik kemudian sebaiknya partisipasi, masyarakat dilibatkan secara independen terkait penggunaan anggaran PDRD," tandasnya.
Dihubungi terpisah, pengamat politik anggaran Uchok Sky Khadafi mengatakan, pemerintah hanya berpikir menambah pundi anggaran dan menafikan kepentingan petani tembakau.
"Pajak sektor tembakau rokok memang sangat besar tapi sayangnya tidak pernah dikembalikan lagi untuk kepentingan tembakau," tegas dia. Ia mengingatkan, jangan sampai duit PDRD itu malah dipakai untuk perjalanan dinas pejabat dan rapat-rapat.
Uchok mengakui, selama ini isu PDRD dinilai syarat kepentingan dari industry farmasi. Dalam UU 28/2009 tentang PDRD, di pasal 31, menyebutkan penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan pali sedikit 50 persen untuk mendanai layanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
Menilik pasal 31 itu, Uchok pun mewanti-wanti pungutan pajak rokok dalam PDRD ini juga jangan pada akhirnya juga dinikmati oleh kepentingan industri farmasi dengan dalih dana PDRD harus dipakai untuk kepentingan kesehatan dengan dalih mengobati mereka yang sakit akibat rokok.
"Jadi regulasi PDRD untuk tembakau dua yang menikmati yakni pemda dan industri farmasi, sementara petani tidak sama sekali," tandasnya.