Tribunnews.com, Jakarta - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB), Rina Oktaviani menyoroti industri gula Indonesia yang kian terpojok karena naiknya tren impor komoditas tersebut.
"Permintaan gula cenderung naik, tapi produksi domestik stagnan. Ketersediaan gula Indonesia meningkat dengan laju 9,7 persen, namun produksi domestik meningkat hanya sebesar 0,47 persen. Lalu, pertumbuhan impor gula 130,7 persen (2001-2011)," kata Rina, Kamis (26/3/2015).
Menurut Rina, Indonesia berada di peringkat 4 dunia sebagai importir utama gula, dengan CR (rasio konsentrasi) 5,4 persen dari total CR4 importir sebesar 24,4 persen. Selain itu, kata dia, jika dibandingkan dengan beras, jagung, dan kedelai, komoditas gula pasir memiliki share impor yang paling tinggi.
"Pada tahun 2011 share impor gula pasir 21,2 persen, sedangkan beras 18,5 persen, jagung 12,5 persen, dan kedelai 15,1 persen," jelas Rina.
Sementara itu dari sisi segmentasi pasar gula, Rina mengatakan ada sejumlah masalah yang timbul dari revisi SK No. 527 mengenai kebijakan stabilisasi harga gula. Menurut dia muncul permasalahan seperti tidak seimbangnya pasokan dan permintaan, hingga tidak efektifnya kebijakan pemisahan pasar gula (gula kristal putih dengan gula rafinasi untuk industri pengolahan.
"Gula rafinasi sering ditemukan di pasar konsumsi. Sehingga para produsen gula kristal putih (GKP) merasa ditekan seiring harga GKP ikut tertekan. Kondisi ini tentu mempengaruhi pencapaian swasembada gula karena kebijakan ini belum efektif," jelas Rina.
Rina juga memamparkan dari jumlah pabrik gula kian menurun. Berdasarkan data dari presentasinya, tahun 1930 jumlah pabrik gula ada 1.799 pabrik, sedangkan di tahun 2012 jumlahnya berkurang hingga 62 pabrik.
"Kapasitas tahun 2012 hanya 2.500-6.000 ton tebu per hari (TCD). Sedang target produksi 205.000 TCD. Pabrik gula sebaiknya juga melakukan usaha diversifikasi melalui bisnis turunan tebu non gula," kata Rina.
(Stefanno Reinard Sulaiman)