TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Bisnis bukan tak mungkin berawal dari niat membantu. Nafi Rasyid yang memiliki usaha pembuatan ketel uap (boiler) sudah membuktikannya. Ia tertarik mengembangkan boiler karena ingin membantu roda bisnis pengusaha kecil dan menengah (UKM).
Perjumpaan Nafi dengan para wirausaha kelas tanggung ke bawah itu terjadi saat ia berstatus mahasiswa Teknik Mesin. Institut Teknologi Bandung (ITB), tempat Nafi menuntut ilmu, pernah menggelar program menciptakan alat semacam itu yang menggunakan briket batubara sebagai bahan bakar.
Untuk bisa merancang alat semacam itu, Nafi pun blusukan ke sentra pembuatan tahu di Jawa Barat. Ia mengamati kebanyakan pengusaha kecil menengah belum mengenal boiler atau mesin penghasil uap. Padahal, mesin yang sudah dikenal sejak abad ke-17 ini, cocok untuk digunakan dalam berbagai proses produksi.
Namun di negara ini, cuma pengusaha skala besar yang bisa menikmati fungsi boiler. “Bagaimana industri kecil bisa bersaing kalau mereka tidak menyadari telah menggunakan bahan bakar lebih banyak 50%, dengan tidak menggunakan boiler,” ujar Nafi menjelaskan asal mula ketertarikannya mengembangkan boiler.
Para produsen tahu yang diamati Nafi menggunakan alat tradisional untuk memainkan peran seperti boiler. “Mereka membakar kayu yang uapnya ditahan dalam drum. Itu tidak efisien dan tak terjamin keamanannya,” kata Nafi.
Pada tahun 2007, Nafi mulai mengembangkan boiler. Awalnya, ia membuat boiler reguler, yang belum terlalu ideal untuk pengusaha kecil. “Agar bisa digunakan produsen kecil, saya merancang alat yang tahan banting, murah, dan butuh perawatan sederhana,” ujar dia.
Nafi menghabiskan waktu hingga dua bulan untuk membuat boiler pertamanya. Boiler itu dibeli pemilik pabrik tahu di Cicalengka, Jawa Barat.
Kendati punya awal yang baik, usaha Nafi ibarat berjalan di tempat. Banyak pebisnis UKM yang meragukan kegunaan boiler buatan Nafi. Apalagi, banderol harga yang dipasang Nafi lumayan tinggi untuk ukuran pengusaha kelas mini, sekitar Rp 45 juta. “Memang, harganya mahal. Tapi jika dihitung dengan penghematan yang diperoleh, UKM bisa balik modal dalam lima bulan,” tutur Nafi.
Namun Nafi juga tak menutup mata terhadap berbagai usulan. Selama hampir lima tahun, ia mengadakan riset merancang boiler yang lebih pas untuk pengusaha kelas bawah. Nafi juga tak bosan-bosan melakukan penyuluhan.
Tak tanggung-tanggung, ia mendatangi masyarakat dari rumah ke rumah. “Waktu di Garut, saya langsung masuk ke kampung-kampung. Di Bandung juga begitu,” tutur dia. Memang, fokus utama Nafi saat itu bukan penjualan, melainkan edukasi agar semakin banyak yang paham kegunaan boiler.
Mulai komersial
Di masa paceklik itu, Nafi sempat tergoda untuk pindah jalur, menjadi karyawan. Namun panggilan untuk membantu UKM ternyata lebih kuat dibandingkan dengan godaan untuk berkarier di perusahaan orang. “Saya menjadi optimistis ketika boiler yang saya buat berhasil mengembangkan sebuah UKM yang hampir bangkrut,” ujar dia. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menebalkan keyakinan Nafi bahwa boiler merupakan solusi berhemat pengusaha kecil.
Pada 2012 ia mulai menggunakan stainless steel sebagai bahan boiler. Ia juga mendesain boiler buatannya dalam ukuran lebih kecil daripada boiler biasa. Ia juga membuat boiler dengan roda sehingga gampang dipindahkan (portabel).
Sistem pembakaran yang digunakan boiler mini memungkinkan penggunanya menghemat bahan bakar hingga 50%. Keunggulan lain boiler mini adalah bisa menggunakan berbagai bahan bakar yang mudah ditemukan, seperti kayu, batubara atau cangkang sawit.