TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memastikan, studi kelayakan baru untuk pelabuhan yang rencananya dibangun di Cilamaya, Karawang Utara, Jawa Barat, tidak lagi melibatkan Badan Kerja Sama Internasional Jepang.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Dedy Supriadi Priatna di Jakarta, Rabu mengatakan upaya tersebut untuk menghindari konflik kepentingan setelah studi kelayakan yang dilakukan JICA untuk pelabuhan yang awalnya di Cilamaya batal.
"'Feasibility study' tidak boleh Jepang lagi, karena nanti ada 'conflict of interest', jadi harus yang lain," katanya.
Dedy mengatakan Bappenas akan merekrut konsultan independen lain dan kemungkinan yang ditunjuk, yakni konsultan asal Kadana McDermott yang pernah diajukan oleh PT Pertamina (Perseoro) dan Kementerian Perhubungan.
"Konsultan ini ahli di bidang perminyakan dan juga perhubungan," katanya.
Studi kelayakan kembali dilakukan setelah diputuskan bahwa lokasi pelabuhan digeser sejauh tiga kilometer ke arah Barat dari lokasi semula di Cilamaya.
Dia menjelaskan McDermott juga pernah melakukan studi kelayakan yang direkrut oleh Pertamina dan Kemenhub, namun dinilai belum lengkap karena tidak menampilkan data-data anjungan minyak dan gas mengingat kajiannya hanya dalam waktu tiga bulan.
"(Studi Mcdermott) Itu tidak terpakai, data-data yang diberikan tidak begitu lengkap, anjungan-anjungan tidak diberikan datanya karena datanya, padahal sangat 'confidential' (penting)," katanya.
Dedy mengatakan akan dilakukan studi kelayakan ulang oleh konsultan baru, namun tidak akan selama yang dilakukan oleh JICA karena data-data awalnya sudah ada.
JICA memerlukan waktu 18 bulan, namun diperkirakan studi kelayakan yang baru hanya memakan waktu kurang lebih sembilan bulan.
"Bisa kurang, karena bisa replikasi yang lama, mungkin sembilan bulan selesai. Kalau bisa enam bulan bagus. Tapi, kalau terlalu pendek nanti kurang teliti lagi," katanya.
Dedy memperkirakan studi yang dilakukan oleh JICA memakan biaya dari US$ 2,5 juta - US$ 3 juta, namun untuk studi kelayakan saat ini dia memperkirakan akan menghabiskan US$ 1,5 juta - US$ 2 juta atau setara dengan Rp 36 triliun.
Untuk menjamin independensi dari hasil studi kelayakan, Dedy menyarankan bersumber dari APBN.
Nantinya, lanjut dia, studi kelayakan tersebut akan berada di bawah koordinasi Kementeriaan Koordinator Maritim dan diwakili oleh Bappenas.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan JICA, dengan adanya pelabuhan Cilamaya bisa menurunkan biaya logistik karena jarak ke Tanjung Priok lebih jauh 70 kilometer dibanding Cilamaya hanya 30 kilomter ke pusat industri di Karawang.
Dengan demikian, bisa mengurangi kemacetan karena volume kendaraan yang melintas Jabodetabek akan menurun, sehingga bisa mengurangi konsumsi BBM bersubsidi.
Pergeseran lokasi tersebut juga salah satunya dipicu oleh desakan Pertamina yang menilai kegiatan pelabuhan akan mengganggu operasi migas PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ) yang pipa serta sumur migas yang berada di wilayah lokasi tersebut.
Menurut hasil kajian JICA, total investasi pelabuhan di wilayah Utara Jawa Barat tersebut diperkirakan mencapai Rp 34,5 triliun dengan prakiraan pembangunan dimulai pada 2016 dengan rincian pengerjaan tahap I ditaksir, sekitar Rp 23,9 triliun dan tahap II Rp 10,6 triliun. (Juwita Trisna Rahayu)