"24 penelitian tidak menunjukkan hubungan signifikan antara perokok pasif dan kanker paru-paru," ujar Zulvan.
Nah, dari 30 penelitian hanya satu yang menunjukkan satu risiko. Untuk menampakkan hal ini EPA perlu "memutar, memotong dan merapikan" data penelitian sehingga bisa menghasilkan asumsi orang yang hidup dengan perokok 119 kali lebih beresiko terkena kanker paru-paru. "Penelitian tersebut memojokkan tembakau," tuturnya.
Zulvan juga mengkritik sisi pengobatan, Kemenkes justru lepas diri sehingga terkesan sangat liberal karena lebih banyak menggunakan obat paten lisensi dari luar negeri ketimbang obat generik yang sudah tidak ada patennya. "Seharusnya hal itu kan didorong oleh Kemenkes, tapi tidak dilakukan dan lebih mengedepankan kampanye anti tembakau," tegas Zulvan.
Zulvan merujuk temuan Prof Sutiman Bambang Sumitro Guru Besar Biologi Sel Universitas Brawijaya Malang, Profesor Dr Sutiman B Sumitro, bersama ahli Kimia-Fisika senior Dr Gretta Zahar dan tim yang terdiri dari ahli bidang kedokteran, Kimia dan Fisika.
Dari hasil risetnya, memang dalam asap rokok ada zat merugikan namun tidak bisa jadi faktor tunggal. Teori Prof Sutiman menyatakan, rokok menyebabkan kanker kebanyakan hanya hasil pengolahan data di rumah sakit, bukan di lapangan. Jadi, asal ada pasien mengidap kanker, dan kebetulan dia merokok, serta-merta rokoklah yang dituding sebagai penyebab tunggalnya.
Variabel-variabel lain yang terkait dengan gaya hidup si pasien, semisal 'asupan' polusi asap kendaraan, konsumsi MSG, dan sebagainya, diabaikan. Metode semacam itu jelas melanggar kaidah eksperimen ilmiah. "Jangan lupa di sekitar kita banyak perokok aktif yang tetap sehat sampai lanjut usia," tegas Zulvan.