TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengkritik pernyataan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) soal iklan rokok.
Mereka menilai, pernyataan YLKI seringkali tendensius dan berbau pesan sponsor.
Pernyataan Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi, menuding iklan rokok itu menipu dan menyesatkan konsumen. Tudingan itu menunjukkan YLKI tidak paham komunikasi periklanan sekaligus juga tidak mengerti aturan di industri rokok.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, Ismanu Soemiran, mengatakan industri rokok merupakan industri legal dan taat aturan, termasuk aturan soal iklan rokok.
Kalangan industri tidak pernah menipu atau melakukan kamuflase atas iklan rokok. Bahwa kemudian dalam iklan seakan ada dramatisasi itu semata bagian kiat periklanan agar iklan tersebut menarik.
"Jadi itu bagian periklanan mendesain agar iklan menarik dan itu bukan karangan industri rokok tapi periklanan," tutur Ismanu, Jumat (5/6/2015).
Ismanu menegaskan, pihaknya sudah mematuhi segala macam peraturan yang berkaitan dengan rokok. Seperti, iklan rokok yang tidak menampilkan kemasan, iklan disajikan dalam rentang waktu tertentu, bahkan aturan kemasan yang dibuat sedemikian menyeramkan.
"Pernyataan atau tulisan yang disampaikan YLKI seringkali tidak tepat. Bahkan tidak murni kepentingan konsumen tapi lebih mewakili kepentingan tertentu. Saya yakin industri ini sudah berjalan dalam kebenaran karena legal," kata Ismanu.
20 Latihan Soal IPAS Kelas 4 SD BAB 4 Kurikulum Merdeka serta Kunci Jawaban, Perubahan Bentuk Energi
Latihan Soal & Kunci Jawaban Informatika Kelas 10 SMA/MA Materi Informatika dan Keterampilan Generik
Menurut Ismanu, industri tembakau saat ini sudah berinvestasi sangat besar agar ekonomi tetap terjaga. Untuk itu, ia berharap tidak ada gangguan-gangguan yang hanya akan memperpuruk ekonomi yang akhirnya kemudian industri dirugikan.
Ismanu mengingatkan agar YLKI perlu arif dengan mempelajari lagi terkait peraturan soal iklan rokok dan bahasa komunikasi simbolik yang dikenal dalam periklanan.
Dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 dan PP 109/2012, iklan rokok tidak boleh menunjukkan wujud rokok bahkan bungkusnya. Jadi, kata Hasan, pernyataan YLKI bahwa iklan rokok menipu atau kamuflase karena tidak sesuai kenyataan, justru mempertanyakan kampanye YLKI agar iklan rokok tidak boleh vulgar.
Tapi, kalau memang YLKI mencabut kampanyenya itu, silakan YLKI merivisi aturannya.
"Kami pihak industri justru sudah mematuhi iklan sesuai ketentuan yang ada. Jadi, di mana kelirunya?" kata Ismanu.
Poin lain, YLKI harus paham bahwa semua iklan selalu menggunakan bahasa-bahasa simbolik. Harusnya YLKI mempertanyakan juga iklan-iklan obat-obatan atau farmasi dan lainnya karena iklan-iklan itu juga memiliki sifat dan model sama.
"Ada iklan adegan orang sakit kepala terus minum obat sembuh, tanpa disampaikan beberapa waktu kemudian, atau tanpa disampaikan efek samping yang berbahaya, dan seterusnya," urai Ismanu.
Karena itu, sebagai lembawa non pemerintah yang mewakili kepentingan konsumen, sebaiknya YLKI tidak memilih-milih komentar. Kecuali sejak awal, YLKI menyatakan bahwa kritik terhadap industri tembakau karena ada “pesan sponsor”, misalnya.
"Supaya jelas posisinya. Publik sudah tahu, kok, YLKI dapat dana dari jaringan perusahaan farmasi internasional. Kami hanya ingin agar dia arif saja dalam berpendapat, supaya publik tidak tersesat menyimpulkan," pungkas Ismanu.