TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Beban materai untuk belanja di atas Rp 250.000 dilakukan sepihak, tapi bisa ditolak oleh masyarakat yang keberatan untuk tidak membayarnya.
Anggota Fraksi Partai Golkar, Muhammad Misbakhun menyatakan, pengenaan bea materai akan memberatkan masyarakat. "Di luar biaya PPN 10%, masyarakat dikenai bea materai, tapi materai itu diberikan kalau memang masyarakat butuh dengan dokumen," katanya di Jakarta, Rabu (1/7/2015).
Karena itu, kata Misbakhun, dirinya tidak akan ragu menolak untuk menerima dokumen seperti struk belanja ketika belanja di minimarket atau tempat-tempat penjualan lainnya. "Saya tidak perlu struk atau dokumen, jadi cukup diperlihatkan saja, berapa yang harus dibayar, tidak usah terima dokumen, tidak usah bayar materai, masyarakat berhak untuk melakukan hal tersebut," katanya.
Menurut Misbakhun, pihak penjual tidak bisa memaksa masyarakat untuk membayar bea materai kalau memang masyarakat tidak membutuhkan dokumen tersebut.
Sementara itu, disampaikan Kontan, Rabu (1/7/2015), Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih mengkaji rencana untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Salah satu poin perubahan materi UU yang diusulkan Ditjen Pajak adalah perubahan tarif bea meterai.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Kemenkeu, Mekar Satria Utama mengatakan, Ditjen Pajak berencana mengubah pemberlakuan pengenaan meterai yang selama ini terdiri dari dua tarif menjadi satu tarif. Tarif meterai baru diusulkan Rp 10.000.
Padahal, sebelumnya, Ditjen Pajak telah mengumumkan akan mengubah dua jenis tarif meterai yang berlaku saat ini. Meterai bertarif Rp 3.000 akan dinaikkan menjadi Rp 10.000 untuk dokumen dengan nilai nominal tertentu.
Sementara itu, meterai bertarif Rp 6.000 akan naik menjadi Rp 18.000 untuk dokumen dengan nilai nominal tertentu. "Kami ingin ada kemudahan dan tidak ingin memisahkan antara satu dokumen dengan dokumen lain. Makanya, perubahan hanya dibuat satu tarif," kata Mekar, Selasa (30/6/2015).
Dalam Undang-Undang tentang Bea Meterai yang berlaku saat ini, diatur soal penggunaan meterai, yakni untuk dokumen yang menyatakan nilai nominal hingga jumlah tertentu, dokumen bersifat perdata, dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan.
Menurut Mekar, UU tersebut sebenarnya memperbolehkan penggunaan bea meterai pada alat bukti transaksi belanja ritel masyarakat. Namun, aturan itu belum dilaksanakan. Karena itu, setelah revisi UU Bea Meterai diberlakukan, Ditjen Pajak akan mengenakan meterai senilai Rp 10.000 atas transaksi itu.
Namun, lanjut Mekar, pengenaan meterai ada batasan nilai, yaitu untuk nominal lebih dari Rp 5 juta untuk semua dokumen, termasuk dokumen hasil pembelanjaan ritel.
Dengan demikian, nilai transaksi di ritel tidak lagi menjadi masalah. "Karena, transaksi dengan nilai lebih dari Rp 5 juta ialah transaksi untuk pembelanjaan barang elektronik," kata Mekar.
Nah, meterai ini akan dikenakan kepada si pembeli berupa meterai yang terkomputerisasi.
Di sisi lain, meterai dengan tarif Rp 10.000 tidak berlaku bagi dokumen hasil transaksi pembelian saham dan properti. Khusus untuk dua transaksi ini, Ditjen Pajak akan memungut tarif berdasarkan persentase (ad volerem) 0,01 persen dari nilai transaksi yang akan dikenakan kepada pembeli. Namun, untuk kedua jenis transaksi itu, Ditjen Pajak tidak mematok batasan nilai tertentu. Tarif 0,01 persen ini lebih rendah dari rencana sebelumnya, 0,1 persen.
Mekar menyebut, jika pembahasan revisi UU Bea Meterai selesai pada awal 2016, beleid ini baru akan berlaku efektif mulai tahun 2017.
Pengamat pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Ronny Bako, menilai, konsep pengenaan meterai dalam UU Bea Meterai ialah hanya kepada dokumen yang menyatakan nilai tertentu, bukan mencantumkan sebuah nilai. Sebab itu, kata dia, pengenaan meterai atas alat bukti pembelanjaan ritel menyimpang dari UU.
Sementara itu, dengan pengenaan meterai atas alat bukti transaksi belanja tadi, penjual jadi pemungut pajak. "Nah, pemungut pajak ini harus jelas, benar-benar wajib pajak terdaftar. Jika memang dilakukan perluasan obyek meterai, pengawasannya juga harus dilakukan," ujar Ronny.