TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Penurunan jumlah pengunjung di pusat-pusat penjualan batu akik tak ayal membuat omzet para pedagang turun signifikan.
Seperti yang dialami Aldi. Pada saat pasar batu akik masih ramai, setiap seminggu sekali ia harus mengambil stok batu bongkahan jenis black opal ke tempat asalnya, Rangkasbitung, sebanyak dua ton.
Tetapi, sejak pasar sepi, kini paling cepat dua minggu Aldi baru kembali lagi ke Rangkasbitung untuk membeli bongkahan batu black opal dari masyarakat setempat.
“Dulu nyari omzet sehari Rp 5 juta mudah sekali. Sekarang bisa dapat Rp 1 juta sehari saja sudah sangat syukur,” jelasnya.
Berbagai upaya untuk membuat dagangannya laku sudah dilakukan Aldi, termasuk dengan menurunkan harga jual bongkahan batu black opal di lapaknya.
“Sekarang seperti sudah tidak ada harganya. Dari semula yang harganya sekitar Rp 30.000-Rp 50.000, sekarang paling saya jual Rp 5.000," ujarnya.
Thohir (40), pemilik kios batubagus.com di Blok M Square kini juga harus lebih bersabar untuk mendapatkan pembeli aneka batu yang ia pajang di meja etalasenya.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, omzetnya turun drastis sebesar 50-60 persen.
“Saat normal pendapatan bisa mencapai Rp 50 juta sebulan. Sekarang mungkin hanya sekitar Rp 20 juta sebulan,” katanya.
Angka penjualan tersebut, kata Thohir, mungkin tidak bisa tercapai apabila ia hanya berdiam diri menjaga kios batunya.
Selama penjualan lesu, dia menyiasatinya dengan melakukan promosi lewat dunia maya, termasuk sosial media.
Thohir berharap, masa-masa paceklik para pedagang batu bisa berakhir secepatnya.
“Mudah-mudahan ini hanya siklus tahunan saja, dimana pada setiap Ramadan dan Lebaran memang selalu sepi karena masyarakat punya banyak kebutuhan. Tahun lalu juga sama. Tetapi kemudian membaik setelah beberapa bulan usai Lebaran,” ungkapnya.
Tidak Mati
JGC Rawabening sebagai pasar batu akik terbesar biasa didatangi konsumen dari berbagai daerah, bahkan luar negeri.