News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gejolak Rupiah

Rupiah Loyo, Kredit Macet Makin Berkibar

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petugas memperlihatkan pecahan dolar AS yang akan ditukarkan di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Kawasan Blok M, Jakarta, Senin (24/8/2015). Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS dibuka di kisaran Rp 14.006 dan sempat mencapai posisi tertinggi pada level Rp 14.017 karena imbas dari perang mata uang (currency wars). (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mengawali pekan ini, nilai tukar rupiah kembali terpuruk. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, hingga akhir penutupan pasar, Senin (24/8), rupiah turun 0,74 persen ke level Rp 13.998 per dollar AS dibandingkan posisi akhir pekan lalu.

Di pasar spot, mengutip data Bloomberg hingga pukul 15.59 WIB, rupiah sudah tergolek di posisi Rp 14.050 per dollar AS, turun dari sebelumnya Rp 13.941. Kondisi ini tak pelak memaksa perbankan berkaca lagi soal ketahanan fundamentalnya.

Untuk mengukur daya tahan, sejumlah bank melakukan uji ketahanan (stress test) dengan skenario terburuk pelemahan nilai tukar.

Semisal Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mengaku menerapkan stress test dengan asumsi jika rupiah terjungkal ke posisi Rp 16.000. Sunarso, Wakil Direktur Utama BRI mengungkapkan, jika kondisi itu benar-benar terjadi, diprediksi rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) gross BRI bisa mencapai 2,5 persen. Hingga medio tahun 2015, NPL BRI berada di kisaran 2,2 persen.

Sunarso yakin, pelemahan nilai tukar tidak akan terlalu banyak berpengaruh bagi bisnis BRI. Sebab, penopang utama bisnis BRI berasal dari kredit mikro berdenominasi rupiah.

Dari total penyaluran kredit BRI, hanya 20 persen yang mengalir ke korporasi dan hanya sedikit dalam bentuk valas. "LDR Valas BRI baru 60 persen. Kalau dengan perhitungan LFR, maka angkanya lebih rendah lagi," ujar Sunarso, akhir pekan lalu.

Beda kondisi

Direktur Keuangan Bank Internasional Indonesia (BII), Thilagavathy Nadason menyatakan, BII dalam waktu dekat akan melakukan stress test ulang, kali ini dengan asumsi rupiah di level Rp 16.000. Kata dia, BII masih memiliki rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) cukup aman, meski rupiah turun hingga Rp 14.500.

"Saya tidak khawatir. Yang lebih penting adalah agar masyarakat dan pengusaha tidak panik. Sebab kondisi tahun ini sangat berbeda dengan tahun 1998," kata Thila, seusai rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) Senin (24/8).

Thila merinci, loan to funding ratio (LFR) valas BII hanya sebesar 58 persen. Sebab, BII memang hanya menyalurkan kredit valas kepada perusahaan yang memiliki pendapatan dalam valas.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nelson Tampubolon meminta perbankan mencermati hasil stress test. "Jika CAR bank tipis, ya bank harus ancang ancang,” imbuh Nelson.

Dia menambahkan, standarnya bank harus mempunyai CAR minimal 8 persen. Namun dengan beberapa profil risiko yang ditambahkan, CAR minimal bisa menjadi 14 persen.( Dea Chadiza Syafina, Galvan Yudistira)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini