TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR -- Deputi Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sulsel, Causa Iman Karana, menyebut, bank sentral telah menetapkan sejumlah langkah antisipatif secara nasional menyikapi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Dengan mengendalikan pergerakan kurs agar sesuai dengan negara mitra dagang. “Kurs jangan terlalu kuat agar barang kita tidak kalah saing tapi juga jangan berfluktuasi agar tidak menimbulkan ketidakpastian yang berlebihan,” katanya Selasa (25/8/2015).
Menurutnya, wajar jika rupiah ikut bergerak ketika kurs mitra dagang bergerak. Di sinilah peran bank sentral melakukan intervensi melalui pasar valas. Menjadi persoalan, kata dia, saat ini masyarakat sering terperangkap dengan ilusi level kurs.
Saat kurs bergerak dari Rp 9.500 ke Rp 9.600 (depresiasi 11%) orang tenang saja. Tapi waktu bergerak dari 9.975 ke 10 ribu(2,5%) langsung panik karena menganggap Rp 10 ribu sebagai level psikologis.
Padahal kurs itu harga relatif. Artinya nilainya harus selalu dibandingkan dengan gerakan mata uang lain. Untuk peran ini, meskipun tekanan global sangat luar biasa, BI sudah cukup mampu mengendalikan rupiah bergerak searah dengan negara mitra.
Minimal dalam kondisi ini, menurut Causa, Indonesia bisa sebanding atau bahkan lebih baik daripada depresiasi negara lain. Malaysia depresiasinya mencapai -19 persen, Meksiko -15 persen, Turki -25 persen, Brazil -32 persen, Rusia -19 persen, Korea -9 persen, dan Thailand -9 persen.
Dengan kondisi ini, daya saing ekspor dari sisi kurs juga harus tetap dijaga dan insentif untuk melakukan impor seperti membeli gadget, mobil impor dan plesiran ke luar negeri perlu dikurangi. Upaya menahan kenaikan impor juga dapat dilakukan dengan mempertahankan suku bunga pada tingkat yang relatif tinggi.
Jika semua langkah ini berjalan maksimal makan defisit transaksi berjalan akan turun tajam. Seperti yang sudah telihat saat ini dari 4,6 persen PDB pada kuartal II 2014 menjadi 2,1 persen kuartal II tahun ini.
“Dengan menjaga daya saing ekspor makan cadangan devisa tetap terjaga. Karena jika ini habis dan kurs juga semakin melambung maka kita bisa saja tidak punya modal lagi untuk membayar impor dan utang luar negeri pemerintah,” jelasnya.(cha)