TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun meminta lembaga otoritas ekonomi di Indonesia untuk bekerja lebih keras guna mengembalikan kondisi perekonomian yang lebih baik.
“DPR terus memberi kesempatan kepada pemerintah untuk bekerja sebaik-sebaiknya untuk mengembalikan kondisi perekonomian saat ini,” ujar Misbakhun dalam seminar sosialisasi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertema Membangun Kepercayaan Masyarakat terhadap Perbankan di Pasuruan, Sabtu (29/08/2015).
Misbakhun mengatakan, mengacu pada kondisi ekonomi aktual, jumlah penduduk miskin Indonesia per September 2014 sebesar 10,96% (27,73 juta orang). Diprediksi 2015 ini menjadi 11,5 persen. Sementara, angka pengangguran terbuka pada Februari 2015 sebesar 5,8 % dari total penduduk. Masalah lain, lanjutnya, sekitar 120 juta penduduk atau hampir separuh populasi Indonesia belum mendapatkan akses layanan perbankan (unbankable).
“Dan, dari 57 juta UMKM di Indonesia, kurang dari 30% yang bisa mengakses kredit perbankan,” jelas politisi Golkar ini.
Sementara, jika melihat tinjauan industri sekor jasa keuangan sebagaimana laporan triwulanan OJK Triwulan I-2015. Bahwa, aset perbankan tumbuh sebesar 3,01% dibandingkan triwulan triwulan IV-2014 menjadi Rp5.783 triliun.
“Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang terjaga. Rasio kecukupan modal industri perbankan (CAR) mencapai 20,98%,” katanya.
Lainnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meningkat sebesar 5,6% pada posisi 5.518,8. Diikuti Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana meningkat sebesar 6,1% menjadi Rp256,1 triliun, dimana NAB Reksa Dana Pasar Uang menunjukkan peningkatan terbesar yaitu sebesar Rp6,3 triliun.
“Total aset Industri Keuangan Non Bank (IKNB) naik 3,7% menjadi Rp1.564,21 triliun dibandingkan triwulan sebelumnya,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, politisi dari dapil Jawa Timur II ini memberikan sejumlah catatan untuk lembaga otoritas ekonomi di Indonesia. Pertama, konsumen produk jasa keuangan akan menuntut layanan yang lebih cepat, fleksibel dengan produk yang semakin variatif. Kedua,perbankan harus siap meningkatkan penyaluran kredit investasi terutama di sektor manufaktur, energi dan infrastruktur dalam rangka memperbaharui dan merevitalisasi kapasitas perindustrian.
Ketiga, perubahan landscape regulasi industri perbankan yang menuntut reformasi yang komprehensif mencakup antara lain struktur permodalan, likuiditas, governance dan sekuritas guna menurunkan probilitas kegagalan institusi. Keempat, integrasi sektor perbankan ASEAN di tahun 2020. Untuk mengantisipasi hal tersebut, upaya memperjelas arah kegiatan usaha perbankan dan meningkatkan daya saing agar dapat memanfaatkan pasar ASEAN. Dan, kelima, Stabilitas sosial politik yang berdampak kepada kinerja perekonomian.
“Untuk itulah, diperlukan peningkatan fungsi intermediasi sektor keuangan kepada sektor riil, serta integrasi lembaga keuangan bank dan non bank,” tukasnya.
Sementara, Direktur Group Pengembangan Kebijakan LPS, Suwandi mendukung langkah DPR dan Pemerintah terkait RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Menurutnya, RUU JPSK bertujuan untuk memberikan payung hukum yang kuat untuk melakukan pencegahan dan penanganan krisis perbankan.
“LPS mendukung penuh niat baik DPR dan Pemerintah membahas RUU JPSK sebagai payung hukum untuk melakukan pencegahan dan penanganan krisis perbankan,” ujarnya.
Terkait peran LPS, Suwandi mengatakan bahwa LPS berperan dalam menjamin simpanan nasabah di bank.
“Sebagaimana mandat UU, bahwa semua bank yang beroperasi di Indonesia maka otomatis menjadi anggota LPS,” tutupnya.