TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli tentang pulsa (token) listrik prabayar, Senin (7/9/2015), menimbulkan tanda tanya di benak publik akan keabsahan pulsa listrik yang selama ini dibayar.
Apalagi Rizal ‘membumbui’ pernyataannya dengan menuding adanya ‘provider setengah mafia’.
Sejumlah pihak pun mendesak PT PLN (Persero) untuk memberikan klarifikasi.
Dihubungi Kompas.com pada Selasa (8/9/2015) Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun menjelaskan rincian pembelian token. Benny mencontohkan, pembelian pulsa listrik untuk rumah tangga dengan daya 1.300 Volt Ampere (VA).
“Ada konsumen rumah tangga daya 1.300 VA membeli token Rp 100.000. Apa saja yang diperhitungkan dalam pembelian token tersebut?” kata Benny.
Pertama, biaya administrasi bank Rp 1.600, tergantung bank yang diakses.
Ada yang mengendakan sampai Rp 2.000.
Kedua, biaya materai Rp 0 karena transaksinya hanya Rp 100.000.
Ketiga, pajak penerangan jalan (PPJ) dengan contoh DKI sebesar 2,4 persen dari tagihan listrik, berarti Rp 2.306.
“Ini yang membedarkan beli pulsa telpon dan beli pulsa listrik. Beli pulsa listrik ada PPJ,” kata Benny.
(Baca Juga: Faisal Basri Menduga Rizal Ramli Keliru soal Tudingan Mafia Listrik)
Dari ketiga komponen tersebut maka nominal yang diterima pelanggan sebesar Rp 96.094.
Dengan harga listrik Rp 1.352 per kilowatt hour (kWh), maka pelanggan tersebut memperoleh listrik sebesar 71,08 kWh.
(Baca Juga: PLN Benarkan Perhitungan Faisal Basri soal Listrik Prabayar)
“Jadi, ketika membeli listrik Rp 100.000, dapatnya 71,08 kWh. Besaran kWh inilah yang dimasukkan ke meter. Bukan (berarti) Rp 71.000,” ucap Benny.
(Estu Suryowati)