TRIBUNNEWS.COM -- Bonsai jenis santigi itu terus ditatapnya. Itu satu dari puluhan bonsai yang berjejer rapi menghiasi rumah I Wayan Artana. Hijaunya semerbak, terpajang indah di atas steger. Pria 56 tahun asal Banjar Puseh, Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar, ini duduk sambil menatap bonsai-bonsai indah miliknya.
"Bonsai adalah karya seni yang paling luar biasa yang pernah saya lihat. Dia hidup dan berkembang. Seni rupa yang sangat dinamis," kata Artana kepada Tribun Bali di kediamannya belum lama ini.
Ada 70 koleksi bonsai yang dibuat dari berbagai varian pohon. Semua koleksinya itu memenuhi halaman rumah hingga merajannya. Barisan bonsai itu diletakkannya berjejer rapi.
Artana mengakui, pohon yang ia kreasikan menjadi bonsai beraneka ragam, ada jenis picus, santigi, tanaman bunga (bougenville), soka, serut, sisir, kawista delima batu, hokiyantea, gulogumantung, jambu biji, cemara udang, mustam, dan masih banyak lagi.
"Sekitar hampir 100 koleksi. Di rumah hanya ada 70 bonsai, sisanya saya letakkan di tempat lain. Semua koleksi itu, harganya puluhan juta,” kata pria yang menjabat sebagai Sekretaris DPRD Gianyar ini.
Di antara puluhan koleksi, ada satu bonsai jenis santigi, nama latinnya Pemphis Acidula, yang terus ditatapnya. Artana lalu memperkenalkan, bonsai itu bernama The Legend. Sesuai namanya, The Legend begitu melegenda dalam setiap acara eksebisi bonsai.
Tahun 2014, pada ajang Grand Indonesia Bonsai and Suiseki Exhibition, The Legend mendapatkan ganjaran atas keindahannya.
Tak tanggung-tanggung, kategori best in show all mencakupi utama, madya dan regional berhasil disabet. Bagi Artana, ini adalah bentuk pengakuan terhadap koleksinya itu. "Yang menarik itu bentuknya. Akarnya bisa menopang dahan dan ranting yang menjulang memanjang ke satu sisi," ujar Artana.
Jika ada yang berminat membeli The Legend, Artana rela melepasnya, tentu dengan harga yang cocok. Namun, sejatinya, Artana tetap menyayangi The Legend sebagai koleksi utamanya. Ia mengisahkan, kegemarannya mengoleksi bonsai muncul sekitar awal tahun 80-an.
Kala itu, pencinta seni ini mulai membeli majalah-majalah yang berhubungan dengan bonsai. Artana juga mulai bertemu dan berdiskusi dengan pencinta bonsai sekaliber Gede Merta, Ketut Winten, Made Kari, Wayan Suwendra (alm), Kadek Yasa dan Ida Bagus Abian.
"Jadi, beliau-beliau itu memiliki konsistensi dan sampai sekarang pun masih eksis membantu perkembangan bonsai di Bali," tuturnya.
Ada masa pasang surut yang dialami ayah dua anak ini. Setelah sekian tahun menekuni, rutinitas perlahan memperkecil ruangnya untuk berkreativitas. Artana pun vakum dari aktivitasnya mengurus bonsai. Beberapa tahun sampai waktu itu berlalu, ia sempat beralih hobi.
Artana lalu menjatuhkan pilihannya ke dunia burung. Waktu kian berlalu. Di balik kesibukan barunya, ia mulai merasa ada yang kurang. Melihat perkembangan bonsai yang kian pesat, Artana kembali melirik cinta lamanya.
Tahun 2004 hobinya terhadap bonsai mengalami reinkarnasi. Ia mulai beraksi mencari bibit. "Waktu itu masih tetap suka, tapi belum kembali ke dunia bonsai. Nah, sejak tahun 2004, saya benar-benar kembali ke dunia bonsai. Saya mulai lagi mencari bibit, beli atau dikasih teman," kisahnya.