TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Resources Studies (IRESS) meminta pemerintah sekarang harus berbeda dari sebelum-sebelumnya, dengan bersikap berani memutus kontrak karya PT Freeport Indonesia pada waktunya.
Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara mengatakan, setiap jelang perpanjangan kontrak Freeport. maka selalu muncul oknum pemburu rente dan sarat praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KNN).
"Perpanjangan pertama pada 1967-1970 itu kontrak Freeport sarat KKN. Tidak bisa dipungkiri itu, kemudian perpanjangan 1991-1994 sama juga," ujar Marwan, Jakarta, Sabtu (5/12/2015).
Menurut Marwan, pemutusan kontrak tersebut memang tidak mudah dan ada risikonya, namun hal ini perlu dilakukan agar pemerintah mendapatkan manfaat yang besar dari kekayaan alamnya sendiri.
"Jangan melanjutkan (pemerintahan) yang dulu, untuk membedakan dengan yang dulu, MoU (memorandum of understanding/nota kesepahaman) harus diputus, risikonya ada, masalah dengan Amerika," tutur Marwan.
Di sisi lain, Komisi VII DPR akan mendukung langkah pemerintah jika Presiden Joko Widodo dapat mengambilalih penguasaan aset dan saham Freeport Indonesia, pasca berakhirnya masa kontrak pada 2021.
Ketua Komisi VII Kardaya Warnika mengatakan, pemerintah dapat memberdayakan perusahaan pelat merah sektor pertambangan ketika aset Freeport telah diambilalih, untuk melanjutkan kegiatan produksi.
"Itu suatu opsi, dari opsi pertama, kedua, dan ketiga, dikaji mana yang menguntungkan bagi negara. Opsi ini apa manfaatnya bagi negara, opsi kedua melalui itu apa manfaatnya bagi negara, yang penting lakukan semua opsi itu dengan ketentuan perundangan," tutur Kardaya di tempat yang sama.