TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertumbuhan industri periklanan Indonesia dalam sewindu terakhir, terhitung menakjubkan. Jika pada tahun 2008, total belanja iklan hanya mencapai Rp 41 triliun, maka di tahun 2014, angka itu tersulap naik lebih dari 3x lipat, menjadi Rp 150 triliun.*) Pertumbuhan bisnis yang luar biasa ini tentunya membuka peluang-peluang baru bagi para pelaku bisnis.
Dalam gelombang tersebut, Adstensity, sebuah aplikasi media monitoring khusus iklan-iklan TV bersama Adstream Worldwide, sebuah perusahaan data aset manajemen global bagi industri advertising dan marketing. yang berkantor pusat di United Kingdom, sepakat untuk melakukan kerja sama strategis dalam penyediaan data dan tools yang mendukung industri periklanan TV di Indonesia.
Dalam kerja sama itu, Adstensity akan memberikan feed data-data seputar post placement iklan TVC (ads spot) secara real-time. Di sisi lain, Adstream Worldwide akan memberikan akses terhadap dinamika pre-placement TV ads yang ada di industri periklanan TV Indonesia.
Adanya kerja sama ini akan membuat layanan Adstream Worldwide maupun Adstensity menjadi saling melengkapi. Konsumen Adstream kini bisa memonitor aktivitas post-placement industri periklanan di televisi Indonesia. Akses ini menjadikan konsumen dapat memetakan dinamika yang tengah terjadi secara real-time.
Kerja sama ini secara simbolis dimulai dengan dengan dilakukannya konperensi pers bersama antara Adstensity yang diwakili oleh CEO PT Sigi Kaca Pariwara, A Sapto Anggoro dengan CEO Adstream Asia, Christine Sterk di Jakarta pada 10 Desember 2015.
Ke depan, Adstream bersama Adstensity berkomitmen untuk membawa layanan ini secara bersama-sama dalam lingkup yang lebih luas, di levelregional, Asia Pasifik.
Sementara itu, dari data tayangan iklan TVC/ads spot yang dikumpulkan Adstensity hingga 30 November 2015, bisa dipastikan belanja iklan TV untuk tahun ini menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun lalu belanja iklan TV mencapai Rp 99 triliun (66% dari total pendapatan iklan nasional), maka tahun ini diperkirakan hanya akan mereguk Rp 71.4 triliun.
Pasalnya, hingga 1 Januari 2015 - 30 November 2015, perolehan iklan TV baru mencapai Rp 65,559 triliun. Terdapat gap sejumlah Rp 33,441 Trilliun di satu bulan terakhir tahun 2015. Dengan rata-rata belanja per bulan sebesar Rp, 5.959 Trilliun dapat dipastikan, tambahan pendapatan di bulan Desember 2015 ini, tetap takkan menyamai angka belanja iklan TV pada tahun lalu.
Hasil ini bukan saja lebih menurun, namun juga meleset jauh dari target yang pernah disebutkan PPPI. Sebelumnya, pada akhir November 2014, Ketua PPPI Harris Thajeb menyebut target belanja iklan nasional untuk tahun 2015 adalah Rp 172,5 triliun, dengan sumbangan iklan TV mencapai Rp 113,5 triliun. Dihitung dari target ini, perolehan iklan TV 2015, hanya tercapai 62,9%.
Perlambatan ekonomi boleh jadi penyebab utama, yang ditandai oleh memburuknya kurs tukar rupiah terhadap dolar Amerika, sehingga banyak rencana belanja Iklan tidak dapat dieksekusi dengan baik.
Namun, walaupun sepanjang 2015, iklim bisnis relatif melambat, masih ada saja perusahaan atau pemilik brand yang belanja iklan TV-nya menembus angka Rp 1 triliun per tahun. Brand itu adalah Djarum, dengan total belanja sampai dengan November 2015 mencapai Rp 1.005.243.000.000. Agresivitas Djarum ini disusul oleh Sampoerna yang nyaris menyentuh angka Rp 1 triliun.
Yang menarik dari daftar brand-brand berkantung tebal ini, ada dua brand pendatang baru yang langsung masuk dalam 10 besar. Keduanya dari jenis industri yang relatif baru tumbuh di Indonesia yakni e-commerce/digital business. Kedua nama itu Tokopedia dan Traveloka, yang masing-masing ada di posisi 9 dan 10.
No |
Brand |