TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusul RUU Pertembakauan DPR RI, Mukhamad Misbakhun menolak keras aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diserukan gerakan anti tembakau. Pasalnya, FCTC jelas merupakan penjajahan model baru dengan menggunakan isu kontemporer yang dimodifikasi dengan isu kesehatan.
"Sebelum petani tembakau dan cengkeh, serta industri nasional kretek dilindungi oleh peraturan perundang-undangan nasional, Saya menolak setiap agenda asing dan global untuk melakukan okupasi terhadap kebijakan pertembakauan di Indonesia," tegas Misbakhun di Jakarta, akhir pekan lalu.
Sebab, menurutnya regulasi pemerintah yang ada saat ini, justru berpotensi mematikan keberadaan petani tembakau dan industri hasil tembakau (IHT). Misalnya, UU 36/2009 tentang Kesehatan, PP 109 tahun 2012, serta aturan turunannya. Regulasi tersebut, kata Misbakhun, perspektifnya kesehatan dengan mengabaikan perspektif lain sehingga regulasi tersebut tidak komprehensif.
Politisi Golkar itu mengatakan, kelompok anti tembakau kerapkali berbicara risiko kesehatan akibat merokok. Selain itu, rokok juga dianggap pencetus faktor kemiskinan. Perokok tidak mendapat perlindungan dari BPJS Kesehatan. Lebih konyol lagi, mereka menyarankan petani tembakau beralih ke sektor pertanian lain karena tidak menyejahterakan mereka.
Misbakhun menilai, isu-isu tersebut terkesan menyederhanakan persoalan. Padahal, menurutnya, risiko kesehatan bisa dikelola dengan baik.
“Mereka menyuruh petani tembakau beralih ke profesi lain, apakah dokter juga mau beralih ke tukang ojek, misalnya? Jika perokok tidak di-cover BPJS kesehatan, kalau begitu, para perokok harus mengampanyekan bahwa orang yang tidak merokok tidak boleh menerima apapun dari negara. Karena sebagian penerimaan negara disumbang perokok melalui cukai yang mereka bayar,” tanya dia.
Misbakhun pun mempertanyakan kelompok anti tembakau yang menyatakan cukai hasil tembakau sebagai salah satu penerimaan negara tidak sebanding dengan risiko kesehatan yang ditanggung masyarakat. Sementara, diakui Misbakhun, kontribusi cukai untuk penerimaan negara sangatlah besar, hingga Rp 150-an triliun. Negara mana yang mau merelakan sumber penerimaan Negara yang besar itu hilang.
“Cari duit Rp 150 trilun itu darimana? Belum lagi efek sosial, ekonomi, politiknya, kepentingan negara bisa terancam, apa yang akan terjadi?,” tanya pria kelahiran Pasuruan itu.
Dalam konteks inilah, DPR merasa perlu RUU Pertembakauan untuk melindungi sektor tembakau dari hulu sampai hilir. Sebagai negara penghasil tembakau terbesar, Indonesia belum memiliki UU yang mengatur pertembakauan. Inilah perlunya RUU Pertembakauan yang akan bicara dari hulu hilir.