TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana mendesak pemerintah untuk membuka peluang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Penyebabnya, DPR masih meragukan efektivitas proyek 35.000 megawatt (MW) tersebut.
Kurtubi, Anggota Komisi VII Fraksi Partai NasDem, mengatakan seharusnya pemerintah mulai memperhitungkan berapa konsumsi listrik per kapita masyarakat paska-selesainya proyek 35.000 MW.
Menurut dia, naiknya konsumsi listrik per kapita akan jadi barometer tingkat kemakmuran rakyat suatu negara.
"Saya yakin meskipun 35.000 MW selesai, konsumsi listrik per kapita masih relatif lebih rendah dibandingkan dari negara-negara tetangga," tutur Kurtubi dalam rapat kerja dengan Kementerian ESDM, di Jakarta, Rabu (3/2/2016).
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menyebutkan rata-rata konsumsi listrik di Indonesia baru mencapai 800 kWh. Sedangkan rata-rata konsumsi listrik per kapita di Asia Tenggara mencapai 2.500 kWh.
Sementara proyek 35.000 MW sendiri ditargetkan rampung pada 2019.
Kurtubi mengatakan, Indonesia memikili banyak sumber energi baru dan terbarukan yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber listrik. Misal, panas bumi, air, angin, dan cahaya matahari sepanjang tahun.
Tapi, untuk mengejar permintaan konsumsi listrik guna mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu melakukan terobosan. Salah satunya, adalah pemanfaatan energi nuklir.
Berkaca dari pengalaman negara-negara maju yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD - Organisation for Economic Co-operation and Development), mayoritas telah memiliki PLTN.
"Makanya Komisi VII Insyaallah akan mendesak pemerintah untuk membuka peluang pembangunan PLTN. Jangan PLTN dianggap haram," tukas Kurtubi.