Sekretaris Kabinet, Pramono Anung pun seirama dengan Johan Budi. Ia menegaskan, pemerintah belum menentukan apakah pengembangan blok Masela akan menggunakan metode eksplorasi di atas tanah (onshore) atau lepas pantai atau laut (offshore).
"Sampai hari ini sedang dikaji, ditelaah, diteliti dan pada saatnya akan diputuskan," ujar Pramono.
Untuk diketahui, Rizal Ramli menyebut pemerintah akan mengembangan blok Masela dengan skenario pembangunan kilang LNG di darat. Kebijakan itu diambil setelah membahas secara menyeluruh dan hati-hati masukan dari banyak pihak.
"Pertimbangannya, pemerintah sangat memperhatikan multiplier effects serta percepatan pembangunan ekonomi Maluku khususnya, dan Indonesia Timur pada umumnya," ujar Rizal.
Ia menjelaskan, Presiden Jokowi kerap memberi arahan agar mengacu konstitusi secara konsekuen. Apalagi, blok Masela menyangkut pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Bukan hanya itu, Jokowi juga menekankan pemanfaatan ladang gas abadi Masela tidak hanya sumber penghasil devisi. Blok Masela juga harus menjadi motor percepatan pembangunan ekonomi Maluku dan Indonesia Timur.
Berdasarkan kajian Kemenko Maritim dan Sumber Daya, biaya pembangunan kilang darat (onshore) sekitar US$ 16 miliar. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (offshore), biayanya mencapai US$ 22 miliar. Itu berarti kilang di darat US$ 6 miliar lebih murah dibandingkan dengan kilang di laut.
Angka ini sangat berbeda dengan perkiraan biaya dari Inpex dan Shell. Mereka menyatakan, pembangunan kilang offshore hanya US$ 14,8 miliar. Sedangkan pembangunan kilang di darat, mencapai US$ 19,3 miliar.
"Inpex dan Shell telah membesar-besarkan biaya pembangunan kilang di darat. Sebaliknya, mereka justru mengecilkan biaya pembangunan di laut," kata Rizal.
Ia lalu menantang beradu data dengan mereka menyangkut biaya pembangunan blok Masela. Bila ternyata pembangunan di laut membengkak hingga melebihi US$ 14,8 milyar, Inpex dan Shell harus bertanggungjawab membiayai kebihanannya, tidak boleh lagi dibebankan kepada cost recovery.
"Faktanya Inpex tidak berani. Ini menunjukkan mereka sendiri tidak yakin dengan perkiraan biaya yang mereka buat," kata Rizal.
Mantan Menteri Keuangan di era Presiden Abdurrahman Wahid ini menjelaskan, pembangunan kilang di laut membuat pemerintah hanya menerima pemasukan US$ 2,52 miliar per tahun dari penjualan LNG. Angka itu diperoleh dengan asumsi harga minyak US$ 60 per barel. Sebaliknya dengan membangun kilang di darat, gas LNG itu sebagian bisa dimanfaatkan untuk industri pupuk dan petrokimia. Dengan cara ini, negara bisa memperoleh revenue mencapai US$ 6,5 miliar per tahun.
Rizal menambahkan, pemerintah juga belajar dari pengalaman pembangunan kilang ofshore di Prelude, Australia, yang mengalami keterlambatan dan pembengkakan biaya cukup besar.
"Prelude telah menghabiskan biaya $12,6 milyar. Padahal kapasitasnya hanya 3,6 juta ton per tahun, 48% dari Kapasitas Masela yaitu 7,5 juta ton per tahun," beber Rizal.