TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Berlarutnya keputusan pengembangan Blok Masela, di Tanimbar Maluku diyakini akan membuat kontraktor bakal hengkang akibat ketidakpastian proyek ini.
Hal ini patut disayangkan mengingat investor sudah memiliki keberpihakan yang jelas dalam pengembangan ekonomi kawasan di Tanimbar, Maluku dan daerah di Indonesia Timur.
Direktur Eksekutif Institute for Defense and Security Studies Connie R Bakrie mengungkapkan, sebagai salah satu lokasi yang strategis dalam poros maritim di bagian selatan Indonesia, seharusnya wilayah Tanimbar, Maluku mendapat perhatian dan keberpihakan dalam hal pengembangan ekonomi kawasan tersebut. Akibat minimnya perhatian tersebut, wilayah Tanimbar, Maluku saat ini tertinggal secara ekonomi, fisik infrastruktur, maupun rawan invasi negara lain.
“Wilayah Tanimbar, Maluku itu the forgotten island karena minimnya perhatian dan keberpihakan terhadap pengembangan ekonomi masyarakat di sana selama ini. Hanya karena Blok Masela, wilayah ini menjadi ramai dibicarakan. Harusnya pemerintah bersyukur karena dengan adanya investasi di blok ini, ekonomi masyarakat di sana akan bertumbuh,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Defense and Security Studies Connie R Bakrie dalam diskusi bertajuk “Blok Masela: Mencari Keputusan yang Konstitusional” di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/3/2016).
Connie menambahkan, pengembangan Blok Masela dengan skema kilang apung sangat menguntungkan negara dalam beberapa aspek. Dari sisi kedaulatan negara, karena Blok Masela merupakan aset vital negara, pemerintah memiliki alasan untuk menempatkan armada militer untuk menjaga teritorial dan kedaulatan negara dari invasi asing.
Skema kilang apung juga sangat sesuai dengan konsep tol laut, karena akan memperkuat armada maritim nasional di kawasan garda depan selatan Indonesia. Kilang apung juga tidak mengganggu ekosistem dan kekayaan biodiversifikasi yang menjadi salah satu daya tarik pariwisata di daerah tersebut.
“Saya firm offshore karena skema kilang apung ini lebih memperhatikan pembangunan ekonomi yang holistik bagi masyarakat Maluku. Kilang apung hanya butuh 40 – 50 hektar tanah, sedangkan kilang darat membutuhkan sekitar 500 – 600 hektare tanah, hampir sebagian pulau. Ini potensi konflik, belum lagi ancaman hilangnya budaya, potensi pariwisata, dan pengembangan matirim ke depan. Sayang kalau akhirnya investor hengkang karena persetujuan revisi POD blok ini terus tertunda,” tegas dia.
Sebelumnya, salah satu hasil kajian yang dilakukan SKK Migas bekerja sama dengan beberapa lemabaga dan perguruan tinggi menyebutkan bahwa skema kilan apung memberikan kontribusi bagi sektor maritim dari sisi peningkatan galangan fabrikasi dan galangan kapal Indonesia.
Potensi daya angkut menjadi 8,000 ton dari kapasitas saat ini sebesar 1,100 ton, potensi panjang pelabuhan menjadi 500 meter dengan 17 meter draft, potensi kapasitas fabrikasi sebesar 86 kT dari 50 kT, serta peningkatan kapabilitas sumber daya galangan, penguatan dermaga, dan multiplier effect lainnya.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, pihaknya sudah mengadakan survey untuk meningkatkan pemanfaatan kandungan lokal dari proyek kilang terapung tersebut. Survey dilakukan tidak saja termasuk kemampuan maritim Indonesia, tetapi juga soal mempersiapkan tenaga kerja lokal dari Maluku untuk diikutsertakan dalam proyek ini.
Anggota DPR RI Komisi VII Inas N Zubir memaparkan Plant of Development (POD) sumur gas blok Masela sudah disetujui tahun 2010. Pada saat itu Menteri ESDM kata Inas sudah memilih skema Floating Liquefied Natural Gas (Off shore).
Dirinya menilai memang sebaiknya Lapangan Gas yang ada di Maluku harus diputuskan melalui Kementerian teknis yakni Energi dan Sumber Daya Mineral. Karena menurut Inas mereka sudah lebih paham baik dari pengkajian sampai pengelolaan.
"Oleh karena itu diperlukan revisi POD dari Menteri ESDM," kata Inas.