TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menunjukkan realisasi penerimaan cukai per akhir Februari 2016 senilai Rp 2,27 triliun, turun sekitar 87 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 17,3 triliun.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, produsen rokok kesulitan karena mengejar target cukai yang tinggi. Terlebih di tahun ini hanya ada 12 bulan dengan target yang sama seperti 14 bulan di tahun 2015.
"Kondisi seperti ini membuat industri rokok di 2016 diperkirakan hanya bisa mencapai target cukai maksimal 90 persen," katanya kepada wartawan, Selasa (22/3/2016).
Rendahnya penerimaan pada awal tahun ini merupakan konsekuensi atas pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/PMK.04/2015 tentang Penundaan Pembayaran Cukai untuk Pengusaha Pabrik atau importir Barang Kena Cukai yang melaksanakan Pelunasan dengan Cara Pelekatan Pita Cukai.
Ditambah pola daya beli masyarakat turun. Yustinus menggambarkan, kondisi ini sudah terjadi di dua tahun ke belakang, dimana pertumbuhan konsumsi stagnan.
Dari kondisi ini yang juga patut diwaspadai adalah, munculnya pita cukai ilegal. Dari data Universitas Gajah Mada, tahun 2014 pita cukai ilegal mencapai 11 persen. "Dan ini merupakan nilai yang cukup tinggi," jelasnya.
Sekretaris Jenderal Gappri Hasan Aoni Aziz mengatakan, pada Januari maupun Februari 2016, produksi rokok berdasarkan CK-1 sama-sama mengalami penurunan produksi di banding 2015, yakni 22,30 persen (Januari) dan 24,73 persen (Februari).
Hasan menambahkan PMK No 20/2015 mengatur kewajiban pembayaran di tahun anggaran berjalan. Sehingga menjadi 14 bulan.
"Sebelumnya ada fasilitas pembayaran November-Desember akhir tahun dibayar pada dua bulan berikutnya yakni Januari dan Februari," ucapnya.
Hal itu telah mendorong pembelian pita cukai di akhir tahun 2015. Sehingga, di Januari dan Februari 2016 turun pemesanan pitanya. "Perkiraan kami, pertumbuhan rokok tahun ini mengalami penurunan sekitar minus 1 persen," katanya.
Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (FORMASI), Suharjo, menilai kondisi cukai yang tinggi sangat memberatkan industri rokok. Selain itu, peraturan baru mengharuskan bayar tunai. "Dengan adanya peraturan baru ini, kita harus bayar tiga bulan langsung. Ini sangat mengganggu cash flow perusahaan," jelasnya ketika dihubungi wartawan.
Selain itu, peredaran rokok ilegal yang semakin marak, hingga mencapai 11 persen pada 2014 juga diperkirakan akan menghambat kinerja penerimaan negara dan mematikan industri rokok legal.
“Dengan menyempitnya pangsa pasar rokok legal karena serbuan rokok ilegal, maka otomatis penerimaan negara dari cukai akan terganggu,” tambahnya.
Tanpa kejelasan penanganan rokok ilegal yang makin marak terjadi, target penerimaan cukai rokok sebesar Rp 139,8 triliun juga sulit tercapai.
Untuk itu, ia juga meminta pemerintah lebih bijaksana dalam menetapkan target cukai di tahun depan mengingat banyaknya beban industri saat ini.