Walaupun tentunya masih banyak yang harus dibenahi oleh Pertamina, khususnya di wilayah Kalimantan Utara di mana aset-aset tua milik Pertamina yang rentan menimbulkan masalah sosial dan lingkungan serta dari pengelolaan gas dan LPG.
Terkait dengan pengelolaan gas, Irianto meminta perhatian dari semua pihak terutama dukungan politis dari DPR RI mengingat kondisi Kalimantan Utara sebagai daerah penghasil minyak dan gas namun masyarakat belum menikmati kesejahteraan secara langsung, apalagi posisi Kalimantan Utara yang berada di perbatasan dengan Malaysia.
"Kemarin saya ke Bunyu, pihak Pertamina menyampaikan bahwa mereka telah melakukan CSR untuk menyalurkan gas ke Rumah Tangga, namun berdasarkan informasi dari Pak Rahman Tadeka barusan, anggota DPRD Kaltara, ternyata baru pipanya saja yang ada tapi gas nya belum mengalir"
Irianto menyayangkan pengelolaan LPG dan BBM di wilayah perbatasan dan minta agar Pertamina untuk bekerja lebih keras lagi dan bukan bicara masalah untung rugi karena hal ini menyangkut harga diri bangsa.
"Kami mohon semua pihak dapat menindaklanjuti, dan agar Pertamina membangun SPBE dan menambah jumlah SPBU serta lebih cermat dalam menentukan quota" kata Irianto.
Irianto menjelaskan kepada anggota Dewan yang hadir bahwa quota LPG kadang tidak bisa dipenuhi, dan bahkan masyarakat di wilayah perbatasan seperti di Sebatik dan Nunukan misalnya, selama ini lebih suka membeli LPG 50 kg dari Malaysia yang relatif lebih mahal karena yakin ukurannya tidak dicuri.
Permasalahan utama di wilayah perbatasan seperti Kalimantan Utara ini adalah jika Malaysia menutup perdagangan lintas batas sehingga masyarakat kesulitan menjual maupun membeli kebutuhan pokok sehari-hari termasuk LPG.
"Kalau Malaysia menutup perbatasannya maka masyarakat kita akan kelimpungan, dan itu terjadi hampir tiap tahun. Oleh karena itu kami mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar ada kebijakan khusus di wilayah perbatasan, yaitu dengan dibentuknya Badan Otorita dengan Inpres khusus" kata Irianto.