TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keberhasilan PT Pertamina (Persero) meningkatkan produksi solar hingga melampaui kebutuhan di dalam negeri tidak hanya mengurangi beban anggaran negara, namun juga meningkatkan nilai tambah dari pembelian minyak mentah (crude oil).
“Yang jelas kita beli crude dan diolah di dalam negeri. Dengan demikian nilai tambahnya kita dapat. Jadi ada nilai tambah dengan pengolahan solar di dalam negeri,” ujar IGN Wiratmaja Puja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (14/7/2016).
Menurut Wiratmaja, tidak hanya solar, pemerintah juga terus mendorong swasembada bahan bakar minyak (BBM) lainnya, seperti premium, dan pertamax sehingga industri pengolahan nasional semakin maju.
“Kita percepat pembangunan infrastruktur dan pembangunan kilang-kilang,” ungkap dia.
Pertamina mencatat total permintaan solar di dalam negeri pada 2014 mencapai 171,92 juta barel dan 125,81 juta barel di antaranya dipenuhi dari produksi dalam negeri. Sisanya, 33,92 juta barel atau 21 persen dipenuhi dari impor.
Setahun kemudian, permintaan solar turun menjadi 148,37 juta barel dan 125,4 juta barel di antaranya dipenuhi dari produksi dalam negeri. Sisanya, 11,6 juta barel atau 8 persen dipenuhi dari impor.
Sejak akhir Mei 2016, Pertamina berhasil membukukan swasembada solar seiring dengan tambahan produksi dari pengoperasian Kilang Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur.
Kilang TPPI dapat mengolah sekitar 100 ribu barel per hari (bph) kondensat dan naphta.
Dari pengolahan bahan baku dengan mogas mode akan diperoleh beberapa produk minyak, seperti LPG, Solar, Fuel Oil, Premium, dan HOMC. TPPI dapat menghasilkan sekitar 61.000 bph premium, 10.000 bph HOMC, dan 11.500 bph solar.
Selain tidak lagi mengimpor solar, Pertamina juga berhasil memangkas impor premium hingga 11 persen pada Mei 2016 seiring pengoperasian Residual Fluid Catalytic Cracker (RFCC) Cilacap di Jawa Tengah dan Kilang TPPI.
Pada 2023, Pertamina memproyeksikan bisa melakukan swasembada BBM.
Unit RFCC mengolah feed stock berupa Low Sulfur Waxy Residue (LSWR) sebanyak 62.000 barel per hari (bph) menjadi produk bernilai tinggi, yaitu HOMC 37 ribu bph.
Dari produksi HOMC tersebut, sebagian besarnya diproses lebih lanjut untuk diproduksikan menjadi premium.
Dengan demikian, produksi premium dari kilang Cilacap naik dari 61 ribu bph menjadi 91 ribu bph.
Andy Noorsaman Sommeng, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), mengatakan pengurangan impor tentu membuat ketersediaan BBM di dalam negeri semakin baik.
“Saya kira untuk mempertahankan kondisi ini kapasitas dan efisiensi kilang harus terus ditingkatkan,” katanya di Jakarta, Kamis.
Sujatmiko, Kepala Komunikasi Publik Kementerian ESDM, mengatakan swasembada solar tentunya sangat bagus karena jelas mengurangi beban devisa negara untuk melakukan impor solar. Kelebihan produksi juga bisa ditujukan untuk ekspor jika memang pasarnya memungkinkan sehingga bisa menambah devisa.
Menurut Sujatmiko, seiring dengan konsumsi solar yang menurun program pemerintah untuk melakukan diversifikasi energi juga bisa berjalan dengan baik.
Apalagi jika kondisi ini diikuti dengan penerapan mandatory biodiesel 20 persen (B20) yang konsisten.
“Ini tentu juga baik untuk penerapan renewable energy dan juga ketahanan energi jangka panjang,” katanya.