TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia terus menindaklanjuti langkah Australia atas kebijakan plain packaging rokok.
Menurut Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo, masalah ini sedang ditangani oleh badan sengketa WTO.
"Proses hearings dan submissions berbagai dokumen pendukung klaim sudah disampaikan. Kita menunggu keputusan panelis, kemungkinan triwulan pertama 2017," jelas Iman Pambagyo melalui pesan singkatnya, Jakarta (3/1).
Menurutnya, Indonesia sudah mengajukan gugatan bersama negara-negara seperti, Honduras, Dominika dan Kuba atas rencana plain packaging ini.
Pemerintah Indonesia menurut Iman masih menunggu keputusan dari WTO.
Bila plain packaging dinyatakan tidak melanggar ketentuan WTO, berarti produk-produk lain yang memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat dikenakan plain packaging atas nama kesehatan publik.
Namun menurut Iman, prosedur penetapan kebijakan plain packging sebetulnya tidak sesuai dengan disiplin WTO.
"Ada yang bilang itu standar yang ditetapkan WHO. Tapi menurut kita, WHO bukan international standardizing body," ujarnya.
Sebelumnya, tepat pada Hari Petani Tembakau Sedunia tanggal 29 Oktober 2016, ratusan petani tembakau dan cengkeh yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Karya Tani Manunggal(KTM) Temanggung, dan Gerakan Masyarakat Tembakau Indonesia (GEMATI) melaksanakan aksi damai di Yogyakarta.
Para petani tembakau dan cengkeh Indonesia menyampaikan petisi kepada Presiden Jokowi untuk melindungi penghidupan mereka dari tekanan peraturan internasional seperti FCTC (Framework Convention on Tobacco Control/Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau).
Mereka dengan tegas menolak salah satu ketentuan FCTC yaitu kebijakan kemasan polos rokok yang tidak memperbolehkan pencantuman merek atau yang lebih dikenal dengan istilah plain packaging
”Kami sangat sedih mengetahui bahwa kebijakan kemasan polos tanpa merek semakin melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia di pasar internasional, sebab akan mengakibatkan penurunan permintaan bahan baku tembakau dari jutaan petani yang menggantungkan penghidupannya pada komoditas tersebut,” kata Soeseno, Ketua Umum APTI Nasional.
Pada tahun 2015, nilai devisa yang dihasilkan dari surplus ekspor produk tembakau Indonesia telah mencapai 524 juta dollar AS.
Nilai tersebut dapat dicapai mengingat Indonesia saat ini merupakan negara produsen-eksportir produk tembakau pabrikan kedua terbesar di dunia setelah Uni Eropa.
Bertambahnya permintaan bahan baku dari pabrikan sangat berarti bagi petani tembakau dan cengkeh di Indonesia dalam menjaga kelangsungan mata pencarian. (Yudho Winarto)