TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Ari Soemarno menilai harga gas industri di dalam negeri mahal, akibat tidak ada alokasi anggaran khusus untuk membangun infrastruktur migas.
Bahkan kata Ari, semua pendapatan perseroan wajib diberikan kepada negara.
"Pertamina sebagai BUMN diwajibkan menyetor semua pendapatannya kepada negara, sehingga Pertamina tidak bisa mengembangkan usahanya," ujar Ari, Senin (5/12/2016).
Ari memaparkan Pertamina sebelum 1976 boleh menahan 40 persen pendapatan dari migas untuk mengembangkan korporasi. Hal itu membuat perusahaan migas nasional bisa terus maju.
"Tetapi setelah krisis Pertamina tahun 1976, 100 persen ditarik (pemerintah). Pertamina nggak ada apa-apa lagi,” kata Ari.
Ironisnya, kata Ari, setelah uang itu ditarik pemerintah, tidak ada anggaran khusus untuk pembangunan infrastruktur migas, yang pada waktu itu dibutuhkan. Hal itu menurut Ari yang membuat Indonesia kalah dari Malaysia.
"Inilah yang membuat harga gas untuk industri mahal, dan Indonesia kalah bersaing dengan negara tetangga seperti Malaysia," papar Ari.
Ari menambahkan infrastruktur migas, Malaysia dibangun oleh BUMN yaitu Petronas. Hal itu bisa dilakukan karena skema pendapatan migas semuanya masuk Petronas.
"Petronas cuma perlu bayar dividen dan pajak korporasi kepada negara. Makanya, biaya distribusi gas di Malaysia sangat murah,” jelas Ari.
Kurangnya Infrastruktur
Senada dengan Ari Soemarno, Direktur Center for Energy Policy Kholid Syerazi menilai selama infrastruktur belum terbangun, akan sulit menurunkan harga gas.
Menurut Syerazi butuh konsentrasi penuh dari pemerintah untuk mengembangkan sektor gas industri.
"Liberalisasi gas di tengah infrastruktur yang sangat tidak matang, menjadikan harga gas kita belum efisien dan belum bisa bersaing," ungkap Syerazi.
Syerazi menambahkan, keberadaan infrastruktur migas sangat penting. Selain bisa membuat harga gas menjadi murah, juga merupakan prasyarat ketahanan energi.
Kewajiban pengembangan infrastruktur tersebut, lanjut Syerazi, sebenarnya berada di tangan pemerintah. Untuk itu, Syerazi berharap. Pemerintah menunjuk BUMN atau swasta dengan pola perjanjian kerja sama (PKS).
“Itu bisa dilakukan kalau punya duit, punya anggaran. Tetapi kalau anggarannya tidak melalui APBN, maka bisa berasal dari uang hasil migas tersebut,” kata Syerazi.
Seperti diketahui, belum lama ini Presiden Jokowi menginstruksikan agar harga gas diturunkan di tingkat industri pengguna hingga ke 4 dolar AS per mmbtu.
Karena itu, persoalan penetapan harga gas ini mencakup tiga kelompok besar dalam mata rantai peredaran gas di dalam negeri, yaitu produsen hulu, penyedia infrastruktur (midstream), dan pedagang/penyalur (downstream).