Lalu, pada 1959, kembali terjadi pemotongan nilai mata uang menjadi setengah nilai awal.
Kejadian berulang lagi pada 1966, ketika inflasi tak terkendali, dengan pemotongan nilai bahkan menyisakan sepersepuluh nilai awalnya.
KOMPAS/PRIYOMBODO Uang lama berbagai pecahan termasuk pecahan kecil ditawarkan oleh pedagang uang di kawasan Pasar Baru, Sabtu (26/1/2013). Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia diharapkan gencar menyosialisasikan rencana redenominasi atau penyederhanaan pecahan rupiah agar masyarakat siap dan redenominasi tidak menimbulkan dampak inflasi.
Pemotongan nilai mata uang itu dikenal dengan sebutan sanering.
Dalam sanering, harga beras yang katakanlah semula Rp 10.000 per kilogram tak lalu menjadi Rp 1.000 per kilogram ketika kebijakan itu memangkas nilai uang menjadi sepersepuluh.
Ketika sanering yang terjadi, harga beras justru bisa jadi Rp 5.000 per kilogram, dengan contoh sanering sepersepuluh nilai awal tersebut.
Kejadian ini pernah menjadi "mimpi buruk" yang mewujud nyata di Indonesia pada era 1960-an.
Sejarah mencatat, Wakil Presiden Muhammad Hatta sampai "didamprat" istrinya karena tak membocorkan sedikit pun rencana sanering pada 1952.
Rencana belanja istri Hatta berantakan karena nilai uangnya tak lagi cukup setelah pemangkasan nilai tersebut.
Apa bedanya dengan rencana redenominasi yang sekarang mencuat kembali?
Untuk menggambarkan perbedaan antara redenominasi dan sanering, daftar menu kafe modern bisa jadi contoh sederhana.
Pernah makan di kafe dan melihat daftar harga tak menyertakan tiga angka nol terakhir?
Sebut saja, misalnya, harga kopi dihargai "Rp 25", steak "Rp 80". Bahkan, kadang-kadang simbol "Rp" di depan harga pun tak muncul.
Meski begitu, tak ada sedikit pun keraguan apalagi upaya berbantahan, harga yang dimaksud adalah Rp 25.000 atau Rp 80.000, merujuk contoh di atas.
Kurang-lebih, itulah situasi yang bakal terjadi saat redenominasi diterapkan.