Bila merujuk rencana yang sempat ramai diperbincangkan enam tahun lalu, Bank Indonesia menyiapkan semacam masa transisi.
Selama masa transisi, uang lama dan uang baru hasil redenominasi akan berlaku bersamaan, dengan nilai yang sama meski penulisan nominalnya berbeda.
“Ada tahapannya, dan tahapan itu bisa 5 sampai 7 tahun,” kata Ronald, di sela pelatihan wartawan ekonomi di Semarang, seperti dikutip Kompas.com, Sabtu (24/9/2016).
Kenapa?
Rencana penyederhanaan penulisan nominal rupiah bisa jadi lebih mempertimbangkan kemudahan dan efektivitas pencatatan keuangan.
Terlebih lagi, saat ini rupiah tercatat menjadi salah satu mata uang yang memiliki nominal terbesar yang ada di dunia, yaitu Rp 100.000.
Secara teknologi, setiap nominal yang dicatat dalam sistem terkomputerisasi juga akan memakan memori penyimpanan.
Bayangkan berapa space yang dibutuhkan untuk mencatat anggaran negara yang totalnya sudah ribuan triliun.
Merujuk Undang-undang Nomor 18/2016 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, total nilai rencana belanja negara mencapai Rp 2.080.451.168.747.000.
Sudah masuk hitungan "kuadriliun".
Sebaliknya, nilai rupiah terkecil pun tak bisa dimungkiri semakin jarang terpakai.
Thinkstock/alzay - Ilustrasi laporan keuangan
Sebagai catatan, redenominasi sudah pernah dijalankan di 30-an negara selama satu abad terakhir, setidaknya menurut Duca Iona dalam paparannya berjudul The National Currency Re-Denomination Experience in Several Countries: A Comparative Analisys ada 2005
Ada contoh gagal, ada pula keberhasilan. Riset Andika Pambudi dkk pada 2014—berjudul Penentu Keberhasilan Redenominasi Mata Uang: Pendekatan Historis dan Eksperimental—mencatat, situasi dan kondisi perekonomian suatu negara yang berencana menjalankan redenominasi merupakan penentu keberhasilan atau kegagalan kebijakan itu.
Tetap perlu waspada