TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Potensi energi baru terbarukan (EBT) yang luar biasa besar, terancam tidak bisa dioptimalkan. Akibatnya, negara juga berpotensi mengalami kerugian besar.
Demikian disampaikan pakar geothermal Universitas Indonesia Yunus Daud.
“Negara berpotensi rugi, dalam arti pengembangan energi baru terbarukan akan mengalami perlambatan. Hal ini adalah ironi, karena sebelumnya gairah untuk mengembangkan EBT, termasuk panas bumi, sangatlah besar,” kata Yunus, Jumat (10/2/2017).
Menurut Yunus, terbitnya Permen ESDM Nomor 12 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan untuk Penyediaan Listrik, menjadi penyebab. Pembatasan harga EBT maksimal 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) seperti tertuang dalam Permen tersebut, diyakini Yunus akan membuat para investor menjadi mundur.
“Bagaimana mau berinvestasi, jika dibatasi begitu,” kata Yunus.
Kondisi demikian, menurut Yunus memang sangat merugikan. Terlebih jika melihat target pemerintah untuk mencapai bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025.
Dalam pandangan Yunus, akan semakin sulit bagi pemerintah untuk mengejar target tersebut, jika Permen Nomor 12 tahun 2017 tetap diberlakukan.
“Padahal, kita semua tentu berharap target itu tercapai, bahkan kalau bisa lebih. Namun dengan Permen tersebut, tentu ketergantungan kepada bahan bakar fosil akan kembali besar,” kata Yunus.
Sebelumnya, pemerintah memang bertekad menggenjot pengembangan EBT yakni melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Tidak tanggung-tanggung, dalam kebijakan tersebut, target bauran EBT pada 2020 disebut sebesar 17 persen. Sedangkan, pada 2025 mendatang, pemanfaatan EBT diharapkan sampai 23 persen.
“Sebenarnya, kebijakan sebelumnya sudah membuat iklim investasi lebih baik. Terbukti kan sudah banyak investor berminat mengembangkan geothermal. Tetapi dengan keadaan seperti ini, mereka bisa jadi mundur. Jadi apa mungkin target 2025 bisa tercapai?” lanjut dia.