TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Rencana penyelesaian pembiayaan proyek kereta api ringan alias light rapid transit(LRT) di Jakarta menggunakan Public Service Obligation (PSO) mengundang tanggapan dari sejumlah kalangan.
Diantaranya Budhi Mulyawan Suyitno, Menteri Perhubungan era Presiden Abdurrahman Wahid.
"PSO itu mekanismenya sulit, berapa jumlahnya yang disetujui dan kemampuan BUMN sendiri bagaimana? Sulit nggak akan nyampe itu," kata Mulyawan di Jakarta, Jumat (24/2/2017).
Lalu bagaimana kalau pemerintah menerbitkan surat berharga? "Itu juga nggak mudah. Kuncinya itu kepercayaan, percaya nggak pasar, kalau nggak percaya sulit kita,' katanya.
Masalah pemnyelesaian LRT mengemuka karena terkendala pembiayaan. Awalnya proyek ini dibiayai lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN) namun belakangan diketahui ternyata nilai proyek LRT terlalu besar untuk ditanggung APBN sepenuhnya.
Padahal Presiden Jokowi menginginkan proyek LRT di Jakarta selesai tahun depan.
Muncullah keinginan pemerintah menjadi penjamin dalam penerbitan Public Service Obligation (PSO) dalam pembiayaan LRT Jakarta. Selain itu pemerintah juga menggandeng BUMN lainnya untuk terlibat dalam pembangunan itu dengan jalan menerbitkan sukuk.
"Seharusnya kalau prinsip pembangunan proyek LRT itu ingin meminimalisir risiko investasi dan meratakan keuntungan, maka kita harus mencari jalan keluar yakni dengan cara gotong royong. Siapa yang punya keahlian ayo kita saling mengisi. Keuntungannya juga bersama-sama. Dengan jalan bersama-sama memang keuntungannya tidak besar, tapi sifatnya continue jangka panjang," kata Mulyawan.
Menurut dia, sebenarnya APBN bisa membiayai keseluruhan pembangunan LRT meski dengan mengetatkan ikat pinggang dengan mengalihkan pos-pos APBN tidak efisien untuk pembangunan LRT seperti memangkas dana Litbang Kementerian yang mencapai triliunan rupiah.
"Penghematan dana subsidi BBM juga bisa digunakan. Dulu zaman Pak SBY itu mencapai Rp 400 triliun, sekarang kan sudah berkurang lagi nih subsidinya, nah itu duit ke mana. Mau nggak pemerintah ini buka-bukaan duitnya. Kan nanti duitnya itu bisa dimanfaatkan untuk pembangunan ini," kata dia.
Program tax amnesty juga bisa digunakan untuk menambal proyek LRT namun dengan syarat pemerintah menaikkan tarif tebusan tax amnesty dari 2 persen menjadi 5 persen.
"Kelemahan tax amnesty sekarang tarif tebusan yang hanya 2 persen. Itu terlalu kecil, sehingga hasilnya tidak optimal untuk mendatangkan kembali duit-duit konglomerat yang ada di luar negeri," kata Budhi Mulyawan.
Alternatif lain sebagai sumber pembiayaan dengan menerapkan tax deductable -non deductable. Program potongan pajak ini bisa diberikan kepada konglomerat yang mau memberikan donasi hibah untuk public service atau public transport.
"Ini yang belum pernah dipikirkan, padahal di negara maju semuanya sudah menjalankan program ini. Saya pernah didatangi kumpulan konglomerat yang minta dibantu agar bisa ditemui dengan Dirjen Pajak. Tujuan mereka, mereka ingin menghibahkan hartanya untuk pembangunan asalkan mereka mendapatkan keringanan pajak atau potongan pajak,' kata Budhi Mulyawan.
Pelibatan pihak swasta juga bisa ditempuh untuk bisa melanjutkan proyek LRT ini. "Sekarang itu yang harus dilakukan pemerintah adalah duduk bareng bersama swasta. Presiden harus menunjuk orang khusus yang ditugaskan untuk menghubungi investor itu. Bahkan kalau mau lebih cepat lagi Presiden bisa turun langsung itu saya yakin pemerintah bisa tambah cepat mendapatkan dana. Daripada proyek ini mangkrak pemerintah harus secepatnya mengambil keputusan,' kata Budi Mulyawan.
Dia khawatir proyek ini mangkrak jika pemerintah ngotot hanya ingin menerbitkan PSO dan Sukuk.
"Ya kemungkinan besar ke sana (mangkrak). Karena kita melihat praktek selama ini tentang PSO itu tidak bisa ditarget dalam hal perolehan dananya dan waktunya. Ini persoalan yang luar biasa mengingat tenggat waktunya sudah semakin mepet, jadi tidak bisa ditangani dengan jalan yang biasa," paparnya.