"Terkait PP 70/2015 maupun RPP BASN, selama ini tidak pernah ada koordinasi dengan kami," ungkapnya.
Sebelumnya, Pengamat Jaminan Sosial, Hotbonar Sinaga juga menilai, implementasi program jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia banyak melenceng dari yang diamanatkan oleh UU SJSN serta UU BPJS.
Hal itu bisa dilihat dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 70/2015 yang memberi kewenangan PT Taspen (Persero) mengelola program JKK dan JKM bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Terbitnya PP Nomor 70/2015 tersebut dinilai telah menabrak tiga undang-undang yaitu UU SJSN, UU BPJS dan UU ASN (Aparatur Sipil Negara).
“Pelanggaran terhadap UU SJSN dan BPJS tentunya bisa terjadi karena kurangnya kesadaran pemerintah dalam implementasi UU tersebut. Hasilnya, regulasi yang bertolak belakang dengan UU SJSN dan BPJS pun bermunculan,” tegas Hotbonar.
Hotbonar mengatakan, jaminan sosial sejatinya merupakan salah satu unsur penting dalam pembangunan negara, jika fungsinya tidak optimal, manfaat yang dihasilkan juga tentunya tidak bisa maksimal. Selain menabrak tiga undang-undang, keberadaan PP Nomor 70/2015 tersebut juga bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013.
Hotbonar merinci, sedikitnya ada 3 pasal dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial. “Berdasarkan Perpres Nomor 109 tahun 2013, arahan dari Presiden RI saat itu sangat jelas bahwa untuk pekerja Penerima Upah Penyelenggara Negara, seperti CPNS, PNS, anggota TNI/ POLRI, Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri, Prajurit Siswa TNI dan Peserta didik POLRI, harus didaftarkan dalam empat program perlindungan BPJS Ketenagakerjaan,” tegasnya.
Digugat ke MA
Sementara itu, Dwi Maryoso seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Pemda Jawa Tengah yang menggugat keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2015 ke Mahkamah Agung, mengaku gugatan yang dia lakukan bersama tiga PNS lainnya masih terhambat.
“Kabar terakhir yang kami terima terkait uji materi yang kami ajukan terkait PP No 70 Tahun 2015 bahwa hal tersebut belum bisa diproses lebih lanjut karena UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, sedang dilakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK),” ungkap Dwi.
Seperti diketahui, pada 21 September 2016 lalu, PNS yang terdiri dari Dr Budi Santoso SH, Dwi Maryoso SH, Feryando Agung, SH, MH dan Oloan Nadeak, SH mengajukan uji materi ke MA terhadap isi Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 70/2015.
Gugatan dilakukan karena mereka menilai pengalihan program yang dibayar oleh negara dari badan publik BPJS Ketenagakerjaan kepada PT Taspen yang berorientasi keuntungan seringkali banyak kesulitan jika menarik klaim.
Sebagai ASN, para penggugat menilai lebih baik jika iuran JKK dan JKM bagi ASN dikelola BPJS Ketenagakerjaan yang tidak mencari keuntungan serta dana kelolaannya bisa bermanfaat juga buat pekerja lain seperti buruh.
Selain mempertanyakan kelanjutan gugatan uji materinya yang telah hampir 6 bulan belum juga diproses MA, Dwi juga mengkritisi munculnya Rancangan Peraturan Pemerintah-Bukan Aparatur Sipil Negara (RPP BASN) yang bertujuan untuk mengelola perlindungan terhadap para pekerja honorer/non-ASN di lingkungan Kementerian dan Penyelenggara Negara saat ini sedang diajukan untuk dapat diproses menjadi sebuah PP baru.
Dwi beranggapan jika hal ini dibiarkan, maka pemerintah terkesan membiarkan pelanggaran terhadap UU SJSN dan BPJS yang sedang terjadi.
“UU BPJS dengan jelas menyatakan bahwa perlindungan jaminan sosial di Indonesia hanya dilakukan oleh dua lembaga BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan,” tegas Dwi.