TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ratusan buruh Jakarta International Container Terminal (JICT) menggelar aksi mosi tidak percaya, dan menyegel salah satu ruang direksi di Gedung JICT, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (6/4/2017).
Aksi ini dilakukan buruh untuk mendesak pihak JICT menghentikan konsesi, serta terkait rapat akbar dan istigasah.
Aksi tersebut buntut dari masalah perpanjangan JICT yang saat ini menabrak hukum dan merugikan negara.
Hal itu dibuktikan oleh pihak DPR lewat penyelidikan Pansus Angket Pelindo II, serta audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sejumlah buruh menandatangani sebuah spanduk putih, yang di atasnya tertulis mosi tidak percaya kepada direksi PT JICT.
Ribuan buruh ini juga menyegel ruang direksi, setelah melakukan rapat akbar serta doa bersama di halaman kantor perusahaan.
"Hal ini dilakukan karena manajemen JICT dan Pelindo II terus membiarkan potensi kisruh di Pelabuhan Tanjung Priok," ujar Ketua Serikat Pekerja PT JICT Nova Sofyan Hakim.
Perpanjangan JICT, lanjutnya, menabrak hukum. Saat DPR dan BPK tengah melakukan investigasi, kata Nova, uang sewa perpanjangan JICT terus ditagih oleh Pelindo II.
"Uang sewa tersebut digunakan untuk membayar bunga utang global bond, karena beberapa proyek masih dalam tahap pre feasibility study saat obligasi diterbitkan," imbuh Nova.
Nova menambahkan, para pekerja JICT yang merasa dirugikan oleh skema paksa tersebut.
"Hal ini berdampak terhadap permasalahan industrial di Tanjung Priok. Direksi JICT bersama Pelindo II sebagai perusahaan induk, cenderung mengabaikan hak-hak pekerja," tambahnya.
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlarut-larut, insentif kinerja diingkari, dan hak pekerja dipotong sampai 40 persen, menurut Nova, dialami para pekerja.
"Hal ini ya karena uang sewa yang dipaksakan akibat perpanjangan JICT. Padahal jika dikelola sendiri oleh Indonesia, manfaat JICT jauh lebih besar baik bagi Pelindo II maupun bagi negara," papar Nova.
Pembiaran potensi konflik dan politisasi tersebut, jelas Nova, mengganggu kondusivitas pelabuhan, sehingga berdampak terhadap dwelling time.
Ia juga menuturkan, produktivitas di JICT sedang dalam kinerja terbaik, dan kapal-kapal besar akan masuk.
"Justru dengan sikap kontraproduktif Direksi JICT dan Pelindo II, malah akan menurunkan motivasi pekerja, sehingga berdampak terhadap dwelling time," cetusnya.
Seharusnya, beber Nova, Pelindo II tidak melakukan politisasi pekerja dan tetap berpegang teguh pada tata kelola perusahaan yang baik, sehingga iklim kondusif pelabuhan bisa terwujud.
Dalam hal dwelling time, lanjut Nova, Serikat Pekerja JICT sempat menyerahkan sebuah hasil studi faktual, dan solusi ke beberapa stakeholder.
Nyatanya, ucap Nova, ada kesesuaian dengan implementasi hasil studi dan penegakan hukum.
"Untuk itu, pekerja berencana melakukan aksi industrial besar-besaran. Jika ini sampai terjadi, publik pun dapat menilai, siapa yang jadi biang keladi gaduh. Tahun 2015, Kapolda Tito Karnavian pernah turun membereskan politisasi Direksi Pelindo II di JICT. Pekerja JICT pun percaya, Presiden Jokowi akan objektif dalam menyikapi konflik di Priok, khususnya JICT," bebernya.
DisayangkanKetua Serikat Pekerja BUMN, Arief Poyuono menyayangkan aksi penyegelan tersebut.
Menurutnya masalah yang dihadapi buruh Jakarta International Container Terminal (JICT) bukan berada di kepemimpinan Dirut Pelindo II saat ini, melainkan yang terdahulu.
Bagusnya kata dia kasus global bond maupun konsensi, pengurus SP JICT berani melaporkan RJ Lino dan Orias Petrus Mudak ke pihak hukum,
"Percuma kalau nuntut ke direksi Pelindo II atau direksi JICT karena buang-buang energi karena peninggalan direksi masa lalu,"ujar Arief.
KPK lanjut dia harusnya juga memanggil mantan dirut Pelindo II RJ Lino dan Orias Petrus Mudak mantan direktur keuangan Pelindo II, terkait aduan SP JICT dugaan korupsi pengadaan Crane dan perpanjangan konsesi di Pelindo II yang merugikan negara tersebut.
"Pekerja harus bersabar karena laporan BPK masih masuk dalam agenda Pansus Pelindo II, untuk membuka masalah perpanjangan konsesi tersebut," tutup Arief.(Panji Baskhara Ramadhan)