TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Program Sejuta Rumah (PSR) yang dicanangkan pemerintah dua tahun lalu, tepatnya pada 26 April 2017 masih menyimpan banyak kendala di lapangan.
Meski di sisi lain cukup banyak kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah guna meningkatkan penyediaan dan keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah.
Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) yang telah berkomitmen menjadi garda terdepan dalam pembangunan rumah rakyat sangat mengapresiasi berbagai regulasi yang sudah diterbitkan pemerintah untuk mendorong pasokan rumah bagi MBR.
Begitu pun, asosiasi mencatat masih adanya beberapa kendala di lapangan yang perlu secepatnya dievaluasi untuk memastikan PSR berjalan baik sesuai harapan pemerintah.
Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata menegaskan secara umum dalam dua tahun terakhir program ini sudah berjalan cukup baik, dimana ada peningkatan penyediaan rumah rakyat baik yang dilakukan pemerintah maupun pengembang swasta.
“Namun harus diakui masih ada beberapa kendala di lapangan yang perlu ditanggani dengan cepat,” ungkap Soelaeman yang kerap dipanggil Eman itu pada acara diskusi yang diadakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jakarta, baru-baru ini.
Kendala utama yang masih menjadi persoalan utama dalam pengembangan rumah rakyat adalah mengenai ketersediaan lahan. Memang, ujar Eman, konsep sejuta rumah ini awalnya seperti cek kosong.
Artinya developer dari sisi suplai diminta mencari tanah sendiri untuk dibangun rumah subsidi. Lahan pun dibeli secara sporadis, sehingga lokasi rumah FLPP sering berada jauh dari pusat kota atau konsentrasi pasar masyarakat yang membutuhkan.
Dia memberi contoh kasus di Kota Semarang, dimana semakin lama pengembang mencari lokasi yang menjauhi pusat kota akibat harga lahan yang semakin mahal. Yang terjadi kemudian, antara pasokan dan permintaan menjadi tidak sinkron.
Demikian juga di Serang (Banten), perumahan subsidi dibangun jauh dari pabrik-pabrik tempat masyarakat bekerja. Kondisi serupa terjadi pula di hampir semua daerah di Indonesia.
“Ini persoalan yang sampai sekarang masih berjalan, karena harga tanah terus meningkat dan sulit sekali dikontrol, sehingga pasokan menjauh dari kebutuhan. Pemerintah perlu turun tangan dalam penyediaan atau pengendalian harga tanah untuk rumah subsidi,” papar Eman.
Di sisi lain, harga jual rumah FLPP rata-rata naik 5 persen setiap tahun. Kenaikan tersebut dipicu pertumbuhan ekonomi daerah, harga tanah, laju inflasi, dan kemahalan konstruksi di setiap daerah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, REI menilai perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap harga jual rumah FLPP baik dari sisi besaran maupun tingkat kenaikan berdasarkan kondisi di masing-masing daerah.
Sebagai contoh batasan harga jual rumah FLPP di Provinsi Sumatera Barat pada 2017 adalah sebesar Rp 123 juta per unit. Harga tersebut, menurut REI, tidak realistis diberlakukan di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang lokasinya berada jauh dari daratan Pulau Sumatera. Sehingga biaya konstruksi lebih mahal dibanding kabupaten/kota lain di Sumatera Barat.
“Kami menilai perlu ada zonasi khusus perumahan subsidi terutama untuk daerah-daerah pulau apalagi yang berada di pulau terluar seperti Mentawai,” rinci Eman.
Saat ini pengembang anggota REI sedang membangun sekitar 1000 unit rumah subsidi untuk PNS yang ditargetkan sudah ada progresnya usai Lebaran tahun ini.
Keterjangkauan Masyarakat
REI juga menyoroti harga cicilan rumah subsidi di sejumlah provinsi yang belum ideal, yakni di atas 40 persen dari penghasilan Upah Minimum Provinsi (UMP). Beberapa provinsi dimaksud antara lain NTT, NTB, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Eman memberi contoh di NTT, besaran UMP masih Rp 1,5 juta per bulan, dengan harga rumah FLPP Rp 130 jutaan, terjadi gap kemampuan masyarakat untuk mencicil sekitar Rp 200 ribu-Rp 300 ribu karena cicilan rumah ditentukan adalah sepertiga dari penghasilan.
Masalah lagi, REI melihat sebagian besar yang menyerap subsidi FLPP adalah pekerja swasta yakni hampir 74 persen. Sementara PNS dan TNI/Polri masih kecil sekali. Padahal dari informasi yang diperoleh ada 150 ribu personil Polri dan 990 ribu PNS di seluruh Indonesia belum memiliki rumah. Menurut Eman, sebagian besar kelompok aparatur ini tidak lolos proses BI Checking karena memiliki berbagai kredit konsumtif.
REI akan mengirimkan surat ke Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) supaya BI Checking ini bisa diperlonggar supaya lebih banyak PNS yang bisa memiliki rumah.
“Karena begini, yang selama ini diperhitungkan bank hanya gaji pokok, padahal PNS biasa memiliki tunjangan lain tetapi tidak diperhitungkan. Mungkin itu bisa jadi pertimbangan,” kata dia.
Persoalan lain yang masih menjadi hambatan serius dalam program sejuta rumah adalah masalah perizinan. Meski PP No 64/2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Surat Edaran Mendagri mengenai penyederhanaan perizinan rumah MBR sudah dikeluarkan, namun di daerah belum berjalan.
Sebagian besar bupati atau wali kota, ungkap Eman, belum merespon positif kebijakan tersebut. Ini sekaligus memperlihatkan kalau masalah perumahan belum menjadi persoalan strategis di daerah.
Sebagai garda terdepan dalam mendukung program sejuta rumah, REI pada tahun ini menargetkan pembangunan 210 ribu unit rumah subsidi di seluruh Indonesia.