TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengomentari terkait dengan rasio kredit bermasalah (NPL) Bank Papua yang mencapai 20 persen. Menurut regulator perbankan, jika NPL suatu bank sudah melewati batas maka OJK akan melakukan beberapa langkah pengawasan.
Sebagai gambaran saja pada Maret 2017, NPL gross Bank Papua menyentuh angka 19,93 persen sedangkan NPL net ada di angka 9,49 persen. NPL nett Bank Papua ini sudah melewati ambang batas yaitu 5 persen.
Sukarela Batunanggar, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK mengatakan jika NPL suatu bank di atas ambang batas, maka regulator akan memastikan dan meminta bank menurunkan sampai ke level yang aman.
“Secara industri BPD memang mempunyai NPL yang agak tinggi,” ujar Sukarela menjawab pertanyaan KONTAN, Minggu (4/6).
Berdasarkan data OJK, NPL bank pembangunan daerah (BPD) sampai Maret 2017 mencapai 3,67 persen atau lebih tinggi dari NPL perbankan secara umum sebesar 3,04 persen.
Dari sejarahnya, Sukarela menjelaskan yang menjadi penyebab NPL BPD tinggi adalah mulai masuknya bank daerah ke pembiayaan terkait tambang dan komoditas. Hal ini seiring dengan keinginan agar BPD melebarkan sayap ke pembiayaan sektor produktif.
Namun usaha untuk melebarkan sayap ke usaha produktif ini sedikit terkendala karena BPD belum siap dari sisi SDM dan infrastruktur. Apalagi sektor produktif sangat sensitif ke naik turunnya ekonomi global.
Hal ini terbukti ketika pada beberapa tahun belakangan ketika harga komoditas turun tajam yang membuat kredit bermasalah BPD mengalami kenaikan. Beberapa daerah, ada beberapa BPD yang mengalami kenaikan NPL yang cukup tajam utamanya dari Papua, Kalimantan dan Sulawesi.
Untuk mengatasi hal ini, diharapkan BPD meningkatkan kompetensi terkait dengan pengelolaan pembiayaan produktif dan mengurangi pembiayaan ke sektor yang memiliki risiko tinggi yaitu pertambangan dan komoditas.(Galvan Yudistira)