TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) beberapa hari ini disibukan dengan kabar adanya kenaikan tarif listrik. Padahal sejatinya kenaikan tarif itu sebagai akibat adanya kebijakan pengalihan subsidi yang tidak tepat sasaran terhadap pelanggan 900 Volt Ampere, sehingga tarifnya saat ini menjadi normal seperti pemakai daya 1.300 VA ke atas.
Untuk menormalkan tarif 19 juta pelanggan pemakai 900 VA yang selama ini menikmati subsidi sebesar Rp 90.000 per bulan, maka ada tiga tahapan yang disetujui pemerintah dan DPR pada tahun lalu.
Pertama per 1 Januari 2017 tarifnya naik dari yang tadinya Rp 605/kWh akan naik menjadi Rp 791/kWh.
Kedua Maret lalu tarifnya dari Rp 791/kWh menjadi Rp 1.034/kWh. Terakhir dari Rp 1.034/kWh menjadi Rp 1.352/kWh atau tarif normal seperi pengguna 1.300 VA ke atas yang sudah tidak lagi menerima subsidi.
Meksi sudah beberapa kali dijelaskan dan disosialisasikan, namun isu soal kenaikan tarif ramai dan cukup membuat Istana angkat bicara.
Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir menceritakan, pada tahun 2004 ada kebijakan dari pemerintah SBY-JK yang menyebutkan bahwa bagi siapapun masyarakat yang meminta dipasang daya 450 VA dan 900 VA maka PLN harus memenuhi.
"Jadi dulu siapapun yang minta harus dikasih," ungkap dia, Kamis (15/6/2017) malam.
Namun, saat itu kata Sofyan ada yang kurang tepat dari kebijakan itu, yaitu tarif listrik bagi 450 VA dan 900 VA dipatok alias tidak bisa berubah, yakni untuk 450 VA tarifnya Rp 460 per kWh dan pemakain 900 VA tarifnya 560 per kWh.
"Mungkin itu kealpaannya, memang waktu itu subsidinya tidak besar," kata dia.
Namun besaran subsidi dari tahun ke tahun terus naik seiring ongkos produksi PLN, misalnya tahun 2012 negara mensubsidi Rp 103 triliun, tahun 2013 sebesar 101 triliun, 2014 sebesar 99 triliun.
Tahun 2015 mulai turun seiring tarif listrik turun sehingga menjadi 56 triliun saja subsidinya, sedangkan tahun 2016 sebesar 38 triliun, dan 2017 sebesar 44,98 triliun.
Adapun itung-itungan subsidi yang diterima oleh pelanggan 450 VA dan 900 VA cukup besar. Untuk pelanggan 450 VA membayar Rp 20.000 per bulan dan negara memberikan subsidi sebesar Rp 50.000 per bulan.
Artinya, tarif normal pemakai daya 450 VA jika tidak menerima subsidi adalah Rp 70.000 per bulan.
Sedangkan pelanggan 900 VA selama ini hanya membayar Rp 70.000 per bulan dan negara mensubsidi sekitar 90.000 per bulan. Sehingga artinya tarif normal pemakai 900 VA jika tidak disubsidi sebesar Rp 160.000 per bulan.
"Saya berpikir kok pelanggan 900 VA mendapat subsidi lebih besar dari pemakai 450 VA, dari sanalah kami jalankan kebijakan subsidi tepat sasaran," ungkap dia. Padahal pemakain daya 900 VA banyak ditemukan memiliki kos-kosan bagus.
Setelah melakukan berbagai rapat dengan pemerintah dan DPR, akhirnya disepakati soal perhitungan ulang terhadap pelanggan yang benar-benar harus mendapat subsidi dan masyarakat yang mestinya tidak mendapat subsidi.
Maka saat itu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melakukan perhitungan dan dipadankan dengan data PLN.
Data dari PLN selama ini yang mendapatkan subsidi mencapai 46 juta pelanggan, dengan rincian 23 juta daya 450 VA dan 23 daya 900 VA.
Namun setelah TNP2K mendata ternyata dari 46 juta penerima subsidi selama ini hanya 25,7 juta yang dikatagorikan miskin dan yang berhak mendapat subsidi. Sehingga disepakati bahwa ada 19 juta pelanggan 900 VA yang tidak berhak mendapat subsidi dan akan mendapatkan tarif normal.
"Waktu itu saya inginnya sekaligus saja tarifnya normal, biar ributnya sekali, tetapi ada pihak-pihak lain yang ingin tiga tahap, jadi tiga kali ributnya. Tetapi memang kejadian sebenarnya adalah seperti ini," ungkapya.
Jadi, kata Sofyan, jika ditanya apakah ada kenaikan tarif listrik?
"Jawaban saya tidak ada, coba cek saja rekening listrik 2014-2017 ini, tarif malah turun. Sebab pada 2015 itu kami efisiensi Rp 42 triliun sehingga tarif bisa turun. Misalnya untuk tarif industri saja dari sebelumnya Rp 1.200 per kWh, hari ini hanya Rp 980 per kWh," ungkap dia.
Reporter: Azis Husaini