TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perusahaan Listrik Negara (PLN) membantah kabar adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL).
Hanya saja, beberapa masyarakat yang Kompas.com temui Rabu (14/6/2017), semuanya mengeluhkan pembayaran tarif listrik yang semakin mahal.
Contohnya saja, Ari Husnul Khotimah, seorang warga asal Kampung Carang Pulang, Kabupaten Bogor yang bekerja sebagai pekerja harian lepas (PHL) di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Ari merupakan konsumen 900 VA dan selama ini mendapat subsidi pemerintah. Saat tarif listrik disubsidi, ia membayar Rp 135.000 tiap bulannya. Kemudian pada bulan Mei, dia membayar listrik sebesar Rp 200.000.
"Saya enggak punya kos-kosan, cuma rumah biasa. Di rumah juga cuma pakai kulkas kecil buat dagangan," kata Ari.
Baca: 5 Fakta Seputar Isu Tarif Listrik Naik
Dia menjelaskan, beberapa waktu lalu, rumahnya sempat didatangi oleh petugas PLN. Saat itu, Ari tidak ada di rumah. Ibunda Ari yang menerima kedatangan petugas PLN. Ari mengatakan, petugas PLN menawarkan surat keringanan pembayaran tarif listrik.
"Ibunya Ari tandatangan saja minta keringanan, karena kan kami sudah enggak punya suami. Ada dua anak juga yang masih jadi tanggungan," kata Ari.
Hanya saja, menurut dia, belum ada dampak positif setelah kehadiran petugas PLN tersebut. Pada bulan Juni, Ari justru harus membayar listrik sebesar Rp 271.000.
"Saya kaget banget, Mba. Karena naiknya sampai 100 persen, sebelumnya juga enggak dikasih tahu PLN kalau ada kenaikan," kata Ari.
Selain Ari, Yana juga mengeluhkan tingginya tarif listrik yang harus dibayarkan tiap bulannya. Yana yang tinggal di Gang 8 RT 06/04 Kebon Sirih Barat mengatakan telah meningkatkan daya listrik di rumahnya.
Awalnya, daya listrik di rumahnya hanya 450 VA. Namun, karena banyaknya anggota keluarga yang tinggal di rumahnya, daya listrik ditingkatkan.
"Biasanya mah saya paling mahal bayar listrik Rp 150.000 sebulan, sekarang tarifnya bisa Rp 700.000 per bulan. Soalnya dayanya sudah dinaikkan dari 450 VA jadi 1300 VA," kata pedagang es teh tersebut.
Dia mengatakan, salah seorang anggota keluarganya meminta memasang AC di rumahnya. Kemudian petugas PLN yang datang ke rumahnya mengimbau agar daya listrik dinaikkan menjadi 1300 VA.
Kini, Yana tinggal bersama 12 orang lainnya di rumahnya. Biasanya dia hanya membayar listrik Rp 80.000 hingga 150.000 tiap bulannya karena penggunaan mesin pompa air.
"Sekarang bayarnya Rp 700 ribuan karena ada tambahan AC. Tapi kami bayar listriknya patungan (sama anggota keluarga lain), sesuai sama penggunaan listrik," kata Yana.
Hal senada juga diungkapkan oleh Indah Pujiati, warga Jalan BB Cipinang Muara III, Jatinegara, Jakarta Timur. Indah merupakan konsumen 900 VA.
"Aku sehari-hari listriknya pakai token. Biasanya Rp 50.000 bisa digunakan 10 hari, sekarang cuma 4 hari," kata Indah.
Indah merasa tarif listrik sudah naik sejak bulan Mei. Dalam kegiatan sehari-hari, Indah menggunakan kulkas dan televisi. Kemudian dia juga memiliki AC, namun hanya dipakai sekali dalam seminggu.
"Harapannya supaya saya tetap dapat subsidi. Wong cilik saya, gaji pas-pasan," kata Indah yang bekerja sebagai office girl sebuah perusahaan swasta tersebut.
Adapun pemerintah mencabut subsidi pelanggan listrik 900 VA, karena kebanyakan merupakan warga kelas menengah. Di Indonesia, total pelanggan listrik 900 VA ada 22,9 juta rumah tangga.
Namun berdasarkan kajian dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), hanya 4,1 juta pelanggan dinilai layak mendapatkan subsidi. Sisanya, 18,8 juta pengguna listrik 900 VA merupakan rumah tangga mampu sehingga tidak berhak mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Pelanggan inilah yang subsidinya dicabut. Mereka yang dicabut subsidinya disebut-sebut memiliki mobil, usaha kos-kosan, dan lain-lain. Salah satu usaha kos-kosan yang menggunakan daya listrik sebesar 900 VA berada di Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan.
Seorang penghuni kos-kosan di sana, Zak, mengaku kecewa karena token listrik semakin berkurang.
"Masa saya beli token listrik Rp 50.000 isinya cuma 32 kwh, biasanya 55 kwh. Kemarin sempat turun jadi 48 kwh dan turun lagi sampai 32 kwh," kata karyawan swasta yang bekerja di kawasan Kalibata tersebut.
Biasanya, token listrik sebesar Rp 50.000 dapat digunakan lebih dari satu bulan. Namun, kini dayanya semakin berkurang dan tiap bulan harus isi ulang berkali-kali. Di sisi lain, dia mengakui, bahwa kos-kosan tempat tinggalnya tak layak mendapat subsidi pemerintah.
"Ya tapi kan gue rakyat. Apalagi kos-kosan gue letaknya di pinggir kali Ciliwung, rakyat banget kan itu," kata Zak.
Penulis: Kurnia Sari Aziza
Berita ini tayang di Kompas.com dengan judul: Jeritan Masyarakat atas Tarif Listrik yang Kian Mencekik