TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tutupnya gerai waralaba 7-Eleven atau 'Sevel' di Indonesia memunculkan banyak spekulasi akan penyebabnya, dari soal kerugian yang muncul akibat pengguna yang menongkrong berjam-jam dan tidak menutup biaya produksi sampai soal persaingan yang ketat. Mana yang benar?
Salah satu pihak yang menyebut penyebab tutupnya Sevel di Indonesia karena pengguna yang menongkrong berjam-jam adalah Ketua Kadin Rosan Roeslani.
Pada beberapa media di Indonesia, Rosan mengatakan, "Di Sevel orang beli satu minuman ringan saja nongkrongnya dua tiga jam," sementara ada pengeluaran sewa tempat yang besar.
Baca: Gerai Sevel Buka Layanan Jasa Titip Barang Belanjaan Blibli.com
Hal ini, menurutnya, menyebabkan biaya operasional tinggi sementara margin keuntungannya tipis jika dibanding dengan minimarket retail lain dengan volume pendapatan yang lebih banyak dan lebih cepat.
Namun pandangan tersebut dibantah oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, yang yakin tidak ada yang salah dengan konsep nongkrong yang dipopulerkan oleh 7-Eleven.
"Karena business model seperti ini sedang berkembang juga. Ada beberapa anggota kami yang kemudian ikut menggunakan gerainya untuk menjual makan minum, sehingga pengunjung bisa makan minum di tempat, karena ini lifestyle, permintaan konsumen yang terobsesi dengan sosialisasi."
"Masa semua yang datang beli air mineral, nongkrong tiga jam? Nggak bisa digeneralisir. Kita lihat ada yang datang beli minum, masuk lagi, beli roti. Itu kan omzet," tambah Roy.
Meski konsumen yang menongkrong berjam-jam bisa menjadi salah satu faktor penyebab tutupnya 'Sevel' namun faktor tersebut dinilai Roy 'tidak substantif'.
"Situasinya, saat mereka masuk ke Indonesia, belum ada peraturannya. Karena mereka punya bisnis restoran atau kafetaria, dan jika pemiliknya asing tidak masalah, tapi mereka juga punya bisnis retail, dan masih ada Perpres 36 Tahun 2010 (tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal), bahwa format retail, untuk di bawah ukuran 400 meter persegi itu harus local player, tidak boleh foreign player," kata Roy.
Maka Aprindo, membantu memfasilitasi 7-Eleven -yang kemudian menjadi anggota asosasi- dengan pemerintah sehingga waralaba tersebut bisa berdiri dengan izin Dinas Pariwisata Kota.
Keterbatasan pengembangan
Faktor perizinan, menurut Roy, menghambat gerak waralaba tersebut hanya terbatas di Jakarta saja sehingga 'terpaksa harus buka di wilayah Jakarta yang penduduknya sedikit atau yang animo belanjanya sedikit' demi mengejar target pertumbuhan.