TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Untuk menjamin kelangsungan investasi jangka panjang di sektor pertambangan, investor pertambangan membutuhkan jaminan kelangsungan investasi jangka panjang. Demikian disampaikan Hendra Sinadia, wakil ketua umum Indonesian Mining Institute.
Isu ini mencuat di saat negosiasi antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia dimana PTFI bersedia melepaskan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan beberapa syarat antara lain adanya perjanjian stabilitas investasi (investment stability agreement) atau ISA.
Menurut Hendra, Industri pertambangan dikenal memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dibanding industri lainnya. Industri pertambangan umumnya bersifat investasi jangka panjang dan padat modal.
Deposit mineral umumnya berada di wilayah-wilayah terpencil (remote area) dan minim infrastruktur, sehingga sangat berisiko tinggi di berbagai aspek seperti teknis, geologi, pasar, fiskal, kebijakan (policy) dan lingkungan hidup.
Dengan karakteristik yang unik tersebut, maka umumnya investor pertambangan menginginkan rejim aturan yang khusus agar investasi jangka panjang terjamin.
“Jaminan tersebut sangat diperlukan tidak saja bagi PT Freeport dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara, tapi juga bagi produsen mineral lainnya dan bahkan perusahaan batubara para pemegang PKP2B. Dalam beberapa tahun kedepan, beberapa perusahaan pemegang PKP2B kontraknya akan berakhir dan akan berubah menjadi IUPK,” ujarnya di Jakarta, Selasa (11/7/2017).
Pelaku industri pertambangan khususnya mengkhawatirkan potensi dampak dari kepastian investasi jangka panjang jika berubah menjadi IUPK. Apalagi di dalam UU No. 4/2009 mengatur pungutan tambahan 10 persen bagi pemegang IUPK yang dikenakan dari keuntungan bersih (net income).
Hingga saat ini belum ada aturan rinci mengenai tambahan tarif pungutan 10 persen tersebut. Investor sebenarnya lebih tertarik dengan skema KK atau PKP2B karena antara lain faktor stabilisasi perpajakan, meskipun tarif PPh badan di dalam KK/PKP2B jauh lebih tinggi dari tarif PPh yang berlaku dari waktu ke waktu.
Seperti misalnya tarif PPh badan pemegang PKP2B generasi I yaitu 45 persen dan KK generasi V dan VI yaitu 35 persen, yang mana tarif tersebut lebih tinggi dari tarif PPh saat ini yaitu 25 persen dan 20 persen bagi perusahaan yang listing di bursa.
“Dengan adanya ISA, maka paling tidak perusahaan dapat memproyeksikan investasi mereka untuk beberapa puluh tahun kedepan. Perusahaan membutuhkan ISA agar tarif PPh, tarif royalti dan pungutan lainnya tidak selalu berubah-ubah. Sektor pertambangan di tanah air sangat rentan dengan perubahan kebijakan fiskal, seperti halnya waktu pemerintah di tahun 2013 dan 2015 mewacanakan kenaikan tarif royalti batubara bagi pemegang IUP meski di periode tersebut harga komoditas sedang dalam level yang sangat rendah.” Ungkap Hendra.