TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rahma, seorang ibu rumah tangga di kawasan Pasar Rumput, Jakarta Selatan, mengaku harus mengeluarkan Rp3.000 untuk sebungkus garam.
Padahal, sebelum perayaan Idul Fitri, harga garam merek yang sama hanya mencapai Rp1.000.
Dia tidak habis pikir mengapa garam begitu mahal dan langka. "Indonesia kan negara maritim, negara kepulauan. Kok bisa garam mahal?"
"Garam aja mahal, pak. Bingung saya," timpal Sunarto, tetangganya.
Baca: Garam Langka, Pemerintah Akan Impor dari Australia
Kenaikan harga garam dirasakan hingga ke Pontianak, Kalimantan Barat.
"Di Pontianak itu garam Rp1.000 per kilogram, sekarang Rp4.500 sampai Rp5.000 per kilogram. Kalau kita jual dengan harga Rp4.500 ke pengasinan ikan, harganya nggak masuk. Mau jual berapa ikan asin ke konsumen?" kata Haji Sulaiman, pengusaha garam.
Apa solusi pemerintah?
Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, mengatakan pemerintah memutuskan untuk mengimpor garam sebanyak 75.000 ton dari Australia demi mengatasi kelangkaan garam di sejumlah daerah.
Keputusan itu ditempuh secara hati-hati mengingat pada Juni lalu kepolisian menangkap direktur utama PT Garam dalam kasus dugaan penyalahgunaan izin impor dan distribusi garam industri sebanyak 75.000 ton.
"Supaya tidak ada sesuatu, maka direksi PT Garam kita undang, 'Anda impor 75.000 ton'. Agar hati-hati, ada aturannya. Jelaskan ke KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), jelaskan ke Daglu (Direktorat Perdagangan Luar Negeri), dan ada Bareskrimnya supaya jangan ada kekhawatiran impor ada sesuatu lagi," kata Enggartiasto kepada wartawan.
Proses impor garam, menurutnya, sedang berjalan.
"Dalam minggu ini, Insya Allah, diharapkan sudah mulai masuk dan terisi."
Mengapa harus impor garam?
Keputusan pemerintah untuk mengimpor garam dari Australia dipandang kalangan industri sebagai sesuatu yang wajar lantaran adanya ketimpangan antara produksi dan konsumsi garam nasional.
Sekjen Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia, Cucu Sutara, mengatakan produksi garam nasional pada 2016 hanya mencapai 144.000 ton dari kebutuhan sebanyak 4,1 juta ton. Adapun dari kebutuhan 4,1 juta ton, 780.000 ton untuk konsumsi publik, sedangkan sisanya untuk keperluan industri.
Jika cuaca mendukung, produksi garam Indonesia bisa mencapai 1,9 juta ton per tahun.
Apa penyebab produksi garam nasional minim?
Faktor cuaca adalah penyebab utama produksi garam nasional begitu minim selama setahun terakhir, menurut Sekjen Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia, Cucu Sutara.
"Hujan terus-menerus karena La Nina menghambat produksi," ujar Cucu.
Selain cuaca, hal lainnya yang membuat jumlah produksi garam di Indonesia relatif sedikit ialah proses pembuatan garam secara tradisional.
"Kita masih mengandalkan matahari dan masih memakai alat sederhana, yaitu pengeruk kayu dan kincir angin. Jangankan bicara kualitas, bicara peningkatan kapasitas juga sulit," tambahnya.
Dia mencontohkan bahwa satu hektare tambak hanya bisa menghasilkan 70 ton garam. "Itu pun dengan cuaca bagus, apalagi sekarang cuacanya tidak bagus."
Bukankah Indonesia negara maritim sehingga garam berlimpah?
Indonesia memang merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan panjang 99.093 kilometer. Faktanya, hanya segelintir di antara puluhan ribu kilometer pantai itu yang bisa dijadikan lokasi tambak garam.
"Lahan yang cocok dijadikan lokasi tambak garam hanya 26.024 hektare. Bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia sehingga produksi garamnya berlimpah, itu mitos," kata Sekjen Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia, Cucu Sutara.
Dia menambahkan, lokasi tambak garam sangat dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain air laut dan tanah lokasi.
Bagaimana solusi ideal?
Pengamat dari lembaga Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira, mendorong pemerintah untuk berpihak kepada petambak garam. Menurutnya, impor tidak bisa terus dijadikan jalan pintas tanpa solusi jangka panjang.
"Keberpihakan pemerintah kepada petani garam kelihatannya belum menjadi prioritas utama," ujar Bhima.
Dia mengakui pemerintah memiliki Pugar, program untuk garam rakyat.
"Sangat disayangkan bahwa, dari jumlah peningkatan produksi, Pugar ini hanya mencapai target sebesar 50%. Realisasi bantuan kepada petambak garam juga tidak pernah mencapai 100%. Lalu tidak ada bantuan teknologi," katanya.
Bhima menyoroti rantai penyediaan garam begitu panjang sehingga petambak garam tidak pernah merasakan keuntungan besar ketika harga garam naik.
Dia lalu merujuk data KIARA (koalisi rakyat untuk keadilan perikanan) dalam lima tahun terakhir.
Data itu menyebutkan jumlah petani tambak garam di Indonesia menurun drastis, yakni dari 30.668 jiwa pada tahun 2012 menjadi 21.050 jiwa di 2016. Artinya, ada sekitar 8.400 petani garam yang alih profesi.
Sebagian besar menjadi buruh kasar atau pekerjaan informal lainnya dan berkontribusi terhadap fenomena migrasi kemiskinan dari desa ke kota.
"Dari perspektif industri, lebih baik impor garam karena rantai pasokannya ringkas. Kalau membeli produk garam lokal, ada tujuh mata rantai dan tiap mata rantai ada biayanya sehingga ketika sampai ke level konsumen jadi lebih mahal," katanya.
Karena itu, menurut Bhima, pemerintah harus punya skema yang jelas agar swasembada garam dapat terwujud.