TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK menilai, penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran.
Dalam konsep tersebut frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh single mux operator
dalam hal ini LPP RTRI, justru menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh
Pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.
”Kami tegas menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat bahwa konsep yang sarat dengan
praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal tersebut
dlakukan oleh lembaga uyang dimiliki oleh Pemerintah," kata Ishadi SK dalam keterangan
tertulisnya di Jakarta, Selasa (26/9/2017).
Ishadi menegaskan konsep single mux bukan merupakan solusi dalam migrasi TV analog ke
digital.
Penetapan single mux operator akan berdampak kepada LPS eksisting yang akan
menghadapi ketidakpastian.
Baca: PT Modern Sevel, Pemilik 7-Eleven Diduga Alihkan Aset
Baca: Wajib Pajak Patuh Jadi Galau oleh Aturan Baru Perpajakan
Ini karena frekuensi yang menjadi roh penyiaran dan sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya kegiatan penyiaran dikelola oleh satu pihak saja, terjadinya pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi.
Saat ini, pembahasan Rancangan Undang Undang Penyiaran sudah memasuki tahap harmonisasi, pembulatan dan pemantapan antara Badan Legislasi (Baleg) dengan Komisi I DPR RI.
Jika kesepakatan dalam rapat tersebut tercapai, Baleg akan menyerahkan draf RUU ke Komisi I DPR
yang nantinya Komisi I akan membawa draf RUU Penyiaran ke Sidang Paripurna DPR untuk
disahkan menjadi RUU Penyiaran Inisiatif DPR.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Palita Harapan Emrus Sihombing menilai, demi menjamin kebebasan berpendapat maka sejatinya negara memberikan otonomi kepada lembaga penyiaran untuk mengelola aspek, termasuk frekuensi dan infrastruktur yang terkait dalam proses produksi program acara.
Emrus menambahkan, pandangan bahwa pengelolaan frekuensi dan infrastruktur secara sentralistik atau tunggal membuat lembaga penyiaran termajinalisasi. Dengan skema itu tentu berpotensi
menimbulkan praktik monopoli yang mendorong terciptanya persaingan usaha yang kurang sehat.
“Selain itu, bisa memicu dominasi operator terhadap lembaga penyiaran. Sebab operator menguasai
frekuensi dan infrastruktur yang dapat membatasi gerak langkah lembaga penyiarn memproduksi
program acara yang secepat mungkin disampaikan kepada publik dan bermutu,” ujar Emrus.
Solusi
Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), Kamilov menilai penetapan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital atau lebih dikenal dengan Single Mux, bertentangan dengan semangat demokrasi yakni terkait larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Kamilov Sagala juga menilai, isi RUU Penyiaran 2017 tidak sejalan dengan Pasal-pasal dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Mengatasi ini, Ishadi menegaskan, solusinya adalah dengan memajukan penyiaran multipleksing yang dilaksanakan oleh LPP dan LPS atau yang dikenal dengan model bisnis hybrid.
:Konsep hybrid merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktek monopoli (single mux),” tegas Ishadi.