Pengamat Energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, perbedaan ini karena tarif 900 VA non subsidi mengikuti tarif tenaga listrik dasar tanpa menyertakan komponen tarif adjustment. Sedangkan ketentuan tarif 1.300 VA ke atas tarif menggunakan tarif listrik adjustment.
Faktor adjustment meliputi inflasi, perubahan nilai tukar dan harga bahan bakar minyak (BBM).
Sejak awal tahun 2017, kata Fabby, tarif adjustment ini tidak dilakukan.
Padahal sudah banyak perubahan dari faktor-faktor yang menjadi dasar penyesuaian tersebut. Selain itu, tahun depan pemerintah tidak menetapkan tarif tenaga listrik baru. Padahal, tarif tenaga listrik perlu ditetapkan setiap tahun.
Oleh karenanya, Fabby meminta pemerintah transparan menetapkan tarif tenaga listrik tahun 2018.
"Saya kira selama ini ESDM sebagai regulator tidak transparan dalam penetapan tarif dan faktor-faktor penentunya, sehingga kita ada dalam situasi saat ini. Yakni ada dua tarif listrik yang berlaku untuk kelompok rumah tangga yang tidak disubsidi," ungkapnya, Minggu (12/11/2017).
Ia menyarankan, tarif listrik 2018, termasuk bagian penyederhanaan golongan tarif listrik rumah tangga, tetap menghitung biaya pokok produksi tenaga listrik.
Mengacu pada Kepmen ESDM No.1404K/20/MEM/2017, biaya pokok produksi listrik nasional sebagai dasar penentuan untuk tarif listrik tahun 2017 sebesar Rp 983 per kWh.
Besaran ini turun Rp 15 per kWh dari posisi tahun 2015. "Oleh karena itu, logikanya, tarif listrik 2017 turun Rp 15 per kWh tapi yang terjadi malah naik lebih tinggi," ujarnya.
Reporter: Pratama Guitarra
(*Rumah tangga mampu) Sumber: PLN
Reporter Pratama Guitarra