TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Barito Pacific Tbk (BRPT) akan mengakuisisi 66,66 persen saham Star Energy Group Ltd. Penyelesaian transaksi (closing transaction) diperkirakan tuntas pada semester I 2018.
Menurut analis senior Binaartha Sekuritas Reza Priyambada, melalui akuisisi tersebut, Star Energy akan mendapat tambahan kapasitas dari dua proyek panas bumi Chevron di Indonesia, yaitu di Salak dan Derajat, dengan kapasitas 648 MW.
"Bila aset milik Chevron di Filipina diakuisisi maka BRPT akan mendapat tambahan kapasitas dari aset panas bumi Chevron di Filipina sebesar 277 MW sehingga total energi panas bumi yang dioperasikan Star Energy menjadi sekitar 1.152 MW," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (14/11/2017).
Itu diperkirakan menjadikannya sebagai operator Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi terbesar di dunia. Akan tetapi, karena hanya mengakuisisi aset Chevron Indonesia saja maka Star Energy menjadi nomor 3 terbesar di dunia dan masih menjadi nomor 1 di Indonesia.
Star Energy merupakan perusahaan energi yang dimiliki Prajogo Pangestu secara pribadi tahun 2007 dan Ashmore Investment. Prajogo notabene merupakan pemegang 69,21 persen saham BRPT. Meski telah dimiliki secara pribadi oleh Prajogo, Star Energy belum tergabung dalam konsolidasi grup BRPT.
Meski demikan, pihak BRPT menyatakan, dalam hal transaksi share sale and purchase agreements (SPA), perseroan baru membayarkan uang muka. Sementara itu, penyelesaian transaksi (closing transaction) direncanakan tuntas pada semester I 2018.
Oleh karena itu, sampai saat ini, Star Energy belum resmi dimiliki BRPT. "Kami telah melakukan kunjungan proyek yang terletak di Gunung Salak, Bogor. Lokasi tersebut merupakan salah satu site dari beberapa site geothermal yang dimiliki oleh Barito Pacific," kata Reza.
Sejak tahun 2000, Star Energy memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Wayang Windu dengan kapasitas terpasang sekitar 227 MW. Pada awalnya, rencana langkah strategis adalah dengan mengakuisisi aset milik Chevron di Indonesia dan Filipina.
Untuk aset Chevron di Indonesia telah selesai diakuisisi pada April 2017. Pada aset milik Chevron di Filipina tidak jadi diakuisisi karena partner Chevron di Filipina menjalankan hak first rights of refusal.
Untuk menjalankan akuisisi tersebut, dilakukan melalui Konsorsium Star Energy, yang terdiri dari Star Energy Group Holdings, Star Energy Geothermal, AC Energy (terafiliasi dengan Ayala Group Filipina) dan EGCO (Thailand).
Terkait dengan proses akuisisi Star Energy, sebelumnya BRPT telah menandatangani supplemental memorandum of understanding (MoU) dengan dua pemegang saham Star Energy Group Holdings Pte Ltd (SEGHL), yakni Star Energy Investment Ltd dan SE Holdings Limited.
BRPT sudah membayar uang muka sebesar 58,60 juta dolar AS diambil dari fasilitas pinjaman Bangkok Bank Public Company Limited senilai total 250 juta dolar AS.
Selain itu, perseroan juga akan menjaminkan 850 juta saham PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) untuk mendapatkan pinjaman sekitar 300 juta dolar AS dari sindikasi bank. Perjanjian fasilitas pinjaman tersebut telah ditandatangani kedua pihak pada 24 Maret 2017.
Adapun cost funding Star Energy ialah sebesar 4,5 persen untuk jangka waktu 10 tahun dan penerbitan obligasi dollar AS yang diterbitkan TPIA dengan kupon 5,1 persen dan jangka waktu 7 tahun.
Di kuartal pertama tahun 2018, BRPT menargetkan akuisisi Star Energy Group bisa segera diselesaikan seluruhnya. Untuk itu, BRPT menyiapkan dana sebesar 700 juta hingga 800 juta dolar AS.
Saat ini, setelah Ashmore Investment menjual kepemilikannya, Star Energy dimiliki oleh BCPG, EGCO, Mitsubishi, dan Ayala. Star Energy dalam menjalankan kegiatan usaha geothermal mengoperasikan 6 turbin di mana 3 turbin kerja sama dengan PT Indonesia Power dan 3 turbin dioperasikan sendiri.