Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Media massa belakangan diramaikan oleh kabar tindak kejahatan oleh pengemudi taksi online. Mulai dari tindak pencabulan, kekerasan dan kejahatan perampasan barang milik penumpangnya.
Yang terbaru, perempuan bernama Yun Siska Rohani (29 tahun) dibunuh oleh pengemudi taksi daring yang korban tumpangi di Bogor.
Pengemudi taksi daring ini melakukan pembunuhan dibantu seorang temannya.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan, mengatakan kasus keamanan dan kejahatan yang dialami taksi daring sudah banyak terjadi, namun penanganan, penyelesaian masalah atau jaminan perlindungan hukum bagi pengguna taksi online nyaris tidak ada hingga saat ini.
"Pemerintah seakan tidak berwibawa dihadapan para aplikator taksi online. Hingga saat ini pemerintah tidak berdaya mengawasi dan menegakan hukum terhadap pelanggaran keamanan atau kejahatan yang terjadi di pelayanan taksi online," ujar Tigor dalam keterangannya, Jumat (23/3/2018).
Pemerintah, kata Tigor, tidak memiliki kemauan melindungi pengguna taksi online dan seakan membiarkan saja kejahatan dan masalah di taksi online.
Semua kejadian tindak kejahatan oleh pengemudi taksi online ini membuktikan bahwa tidak adanya Standar Pelayanan Minimum (SPM) pelayanan taksi online terhadap penumpang atau penggunanya.
Ia berpendapat semua kejadian kejahatan oleh pengemudi taksi online tersebut juga membuktikan bahwa tidak ada standar bagus dalam rekruiting pengemudi oleh aplikator taksi online hingga saat ini.
"Hingga saat ini pihak pemerintah belum juga bersikap dan menunjukkan upaya menyelesaikan buruk atau lemahnya kemanan taksi online. Pemerintah terlihat tidak peduli dan diam saja tidak berani mengambil tindajan tegas terhadap aplikator yang mitra atau oengemudinya melakukan kejahatan terhadap penumpangnya," kata Tigor.
Padahal, lanjut dia, yang merekrut dan mengoperasikan para pengemudi itu adalah perusahaan aplikasi atau aplikator taksi online.
"Seolah pemerintah mengadu antara pengguna atau publik dengan aplikator taksi online karena pemerintah takut berhadapan dengan aplikator taksi online.
Akibatnya pengguna dirugikan terus menerus karena tidak ada Standar Pelayanan Minimum (SPM), Pengawasan serta Penegakan Peraturan terhadap taksi online dari pemerintah," imbuh pria yang juga penganalisis kebijakan transportasi itu.
Baca: Cawapres untuk Jokowi Akan Datang dari Kader Partai Golkar
Baca: Faisal Basri: Membangun Infrastruktur dengan Menerbitkan Surat Utang Bikin Ekonomi Tak Stabil
Lebih lanjut, baru saja pengadilan Uni Eropa (European Court of Justice (ECJ) telah memutuskan bahwa Uber (taksi daring) pelayanan transportasinya diawasi sebagaimana pengawasan terhadap operator taksi lainnya seperti pengaturan tanda (stiker) Lisensinya dan lain-lain.
Ia pun mempertanyakan Indonesia, karena menurutnya pengawasan terhadap SPM taksi umumnya (konvensional) saja lemah dan keamanan layanan taksi konvensional juga lemah sampai saat ini.
Masalah keamanan taksi online dan konvensional sama-sama lemah, banyak tindak kejahatan dan belum ada penegakan peraturan serta pengawasan ketat oleh pemerintah.
"Untuk itu pemerintah harus berwibawa dalam menegakan peraturan serta mengawasi ketat SPM dalam pelayanan taksi online dan taksi konvensional. Ketegasan itu bisa dilakukan jika pemerintah menjaga kewibawaannya sendiri di hadapan pengusaha taksi konvensional dan aplikator taksi daring," pungkasnya.
Sekedar informasi, kejahatan oleh pengemudi taksi online terhadap penggunanya sudah sering terjadi di Indonesia. Kejahatan tersebut antara lain:
1. 11 Oktober 2017, seorang perempuan penumpang taksi online hampir diperkosa di Makassar
2. 17 Januari 2018, seorang perempuan dirampok oleh pengemudi taksi online yang di tumpangi di Bandung
3. 12 Februari 2018, seorang perempuan dicabuli dan dibuang di sekitar bandara Soekarno Hatta oleh pengemudi taksi yang ditumpangi korban