Laporan Wartawan Tribunnews.com, Apfia Tioconny Billy
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengumumkan pengalihan saham seri B milik negara sebesar 59,96 persen dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN) ke Pertamina.
Dengan pengalihan tersebut, maka holding migas resmi berdiri dengan Pertamina sebagai induk perusahaan (holding) dan PT PGN Tbk sebagai anggota holding.
Pengalihan ditandai dengan penandatanganan akta perjanjian pengalihan hak atas saham RI kepada PT PGN dalam rangka penyertaan modal saham PT Pertamina.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno mengatakan holding ini diharapkan dapat memperkuat BUMN.
"Sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo untuk me jadi lebih kuat, tetap lincah sehingga sejak 2015 lalu dibuatlah roadmap holding," papar Fajar Harry di Kementerian BUMN, Rabu (11/3/2018).
Baca: Luhut: Lama-lama Manusia Juga Bisa Jengkel Dibilang PKI, Dibilang Nggak Islam, Dibilang Aseng
Lalu langkah selanjutnya adalah proses integrasi PT Pertagas yang merupakan anak usaha Pertamina ke PGN sehingga PGN akan menjadi Sub-Holding Gas di bawah Pertamina.
Dalam proses pengalihan tersebut, Pertamina dan PGN menyiapkan tim transaksi yang akan menuntaskan rencana integrasi dengan sasaran tercapainya konsolidasi keuangan yang sehat dan tax planning yang optimal.
"Dengan masuknya PT Pertagas ke PGN maka PGN akan menjadi pengelola midstream sampai distribusi dan niaga gas," ungkap Harry.
Nantinya Pertamina akan melakukan Perubahan Anggaran Dasar Pertamina terkait perubahan atau peningkatan modal dan menyetujui pula integrasi PT Pertagas ke dalam PGN tersebut.
Dengan holding ini, title 'Persero' pada nama PGN juga akan dihapuskan tapi BUMN berjanji akan tetap memberlakukan sama dengan BUMN lainnya sehingga negara tetap memiliki kontrol terhadap PGN.
"Hal strategis, seperti perubahan Anggaran Dasar, dan pengusulan pengurus perusahaan, masih harus dengan persetujuan saham dwiwarna, apalagi jika melakukan perubahan struktur modal atau right issue tentu harus dengan persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam PP 72/2016," pungkas Harry.