Sementara itu David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk lebih menyoroti kejatuhan rupiah disebabkan karena naiknya imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun yang hampir menyentuh level 3%.
"Ditambah lagi data-data terakhir cukup baik seperti data klaim pengangguran dan data non farm payrolls," urainya kepada Kontan.co.id, Minggu (22/4/2018).
Perbaikan data ekonomi tersebut berhasil membawa indeks dollar AS kembali menguat. Menjelang penutupan perdagangan Jumat (20/4/2018) ia sempat menyentuh level 90,404. Hanya saja akhirnya indeks ditutup sedikit melemah di level 90,316.
Namun ia melihat kejatuhan rupiah ini tidak semata-mata terjadi karena alasan fundamental ekonomi Indonesia.
Menurutnya tekanan eksternal ini juga terjadi pada hampir semua mata uang negara berkembang. Bahkan Thailand dan Malaysia saja yang neraca perdagangannya surplus turut tumbang.
Seperti dikutip dari Bloomberg, pada Jumat ringgit Malaysia ditutup melemah 0,17% ke level 3,8977 per dollar AS, sedangkan bath Thailand ditutup melemah 0,35% ke level 31,345 per dollar AS.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Lukman Leong Analis PT Valbury Asia Futures.
Menurutnya semua mata uang juga tertunduk di hadapan dollar AS. Ia malah melihat tidak ada sentimen negatif yang menekan rupiah.
Menurutnya mata uang Garuda masih mendapatkan sedikit sokongan dari kenaikan peringkat utang oleh Moody’s.
Baginya, kondisi fundamental ekonomi tidak hanya tercermin dari mata uangnya saja, tetapi lebih ditentukan oleh tujuan ekonomi suatu negara.
Penurunan suku bunga acuan bisa dilakukan untuk mengakomodir pertumbuhan ekonomi. Walaupun ini berimbas pada pelemahan mata uang tetapi ini bisa berdampak pada ekspor.
“Perlemahan belakangan ini masih dalam range yang wajar,” cetusnya.