Artinya ini hanya sekitar 1/25 atau 4,1% dibanding impor dari China, 1/15 Kanada atau Meksiko, lebih dari 1/7 Jepang dan hampir 1/6 Jerman. Terlalu kecil.
Yang aneh, meski sudah dapat GSP, Indonesia adalah pembayar tarif bea masuk terbesar kelima di AS, sebesar USD 1,3 milyar pada tahun 2015.
Ini membuat Indonesia terkena tarif efektif sebesar 6,4%, dua kali lipat China yang tanpa GSP tapi hanya kena 3%. Parah kah?
Jadi tegas dia, untuk apa AS perang dengan Indonesia? Wong, diplomat Indonesia selama ini sudah lemah dalam negosiasi tarif bagi negaranya.
Baca: Ada Diskon Televisi TCL di Program TCL Brand Day Lazada Hari Ini
"Kesimpulannya, tidak ada ancaman perang dagang dari AS. Daripada gagah-gagahan di dalam negeri, lebih baik pemerintah kerja kerja dan kerja menurunkan tarif efektif di atas," sindirnya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita berkomentar terkait ancaman perang dagang Presiden AS, Donald Trump terhadap Indonesia.
Trump mengancam bakal mengenakan tarif ke-124 pada produk asal Indonesia menyusul defisit yang terjadi pada AS dalam hubungan dagang dengan Indonesia.
Enggartiasto mengakui bahwa kini Pemerintah AS sedang mengevaluasi keberadaan generalized system of preference (GSP) yang diberikan ke produk-produk asal Indonesia.
"Ya GSP-nya itu, kita termasuk dalam negara yang memiliki surplus besar, makanya kami juga sudah kirim surat dan kami sudah menyampaikan mengenai yang pasti ada perbedaan angka dulu, bagaimana menghitungnya, jumlah defisit mereka dengan surplus kita berbeda angkanya," ujar Enggar di Gedung Kemendag, Jakarta, Kamis (5/7/2018).
Enggar meyakini bahwa berdasarkan hitungan yang dilakukannya surplus Indonesia bukan berasal dari daftar bea masuk untuk dikenakan.
Untuk itu, pendekatan dan lobi digunakan Kemendag untuk menyampaikan hal tersebut. Enggar juga menambahkan, Duta Besar Indonesia di AS pun telah diminta untuk membantu Kemendag.
"Dubes kita di Amerika juga menyampaikan pendekatan dan saya sendiri melakukan komunikasi dengan Amerika untuk meyakinkan, sebab pada dasarnya kita tidak setuju dengan perang dagang karena semua pihak akan dirugikan, kita lebih senang kolaborasi," tutur Enggar.
Meski demikian, Enggar menegaskan, Pemerintah Indonesia tak segan mengambil tindakan jika Trump tetap dengan ancamannya.
"Tetapi, kalau kita dapat tekanan, maka hal itu (perang dagang) bisa kita lakukan. Sama halnya dengan AS dan China. Imbasnya akan berdampak di seluruh dunia," sambung Enggar.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mulai melayangkan peringatan kepada Indonesia karena jumlah ekspor ke AS lebih tinggi dibanding jumlah ekspor AS ke Indonesia.