TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi menyatakan mendukung langkah Pemerintah membatalkan rencana pencabutan domestic market obligation (DMO) harga batubara.
Menurutnya, langkah itu sudah sesuai dengan Nawa Cita dan konstitusi.
"Keputusan Presiden Joko Widodo membatalkan pencabutan DMO Batubara sudah sangat tepat, itu sudah sesuai Nawacita dan konstitusi UUD 1945 Pasal 33, karenanya harus didukung dan dikawal oleh seluruh komponen bangsa," ujar Fahmy dalam keterangan pers tertulisnya kepada Tribunnews, Selasa (31/7/2018).
Sebelumnya, Presiden Jokowi memutuskan membatalkan rencana mencabut ketentuan DMO harga Batubara setelah digelar rapat terbatas yang dihadiri 17 pejabat negara di Istana Bogor.
Rapat dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Direktur Utama PLN Sofyan Basyir.
Baca: Memotret Menu Kuliner dengan Smartphone Honor 10: Tekstur Terlihat Lebih Tajam dan Menggiurkan
DMO Batubara diatur mengacu pada Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 23K/30/MEM/2018 tentang penetapan minimal 25% produksi batu bara harus dijual ke PLN. Sedangkan Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batubara untuk sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$70 per ton.
Rapat terbatas sebelumnya yang dihadiri sejumlah nenteri, termasuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Wakil Menteri ESDM Acandra Tahar dan Ketua Umum Kadin Rosan P Roeslani dan perwakilan pengusaha batubara, memutuskan mencabut Kepmen ESDM 23/30MEM/2018 tentang DMO harga batubara.
Rencana pembatalan DMO harga Batubara diputuskan dalam Ratas pada Selasa 31 Juli 2019, yang dipimpin Presiden Jokowi.
Luhut berdalih pencabutan Kepmen ESDM 23/30MEM/2018 untuk memperbaiki neraca pembayaran sehingga dapat menguatkan rupiah.
Menurut Fahmy Radhi, dalih itu sesungguhnya mengada-ada. Pasalnya, ketentuan DMO Produksi Batubara hanya 25% dari total penjualan. Sedangkan 75% masih tetap bisa diekspor dengan harga pasar.
"Dengan DMO 25%, penambahan devisa dari ekspor Batubara sangat tidak signifikan, bahkan diperkirakan tidak ada tambahan devisa sama sekali untuk mengurangi defisit nercara pembayaran," ungkap Fahmy.
Kecuali, jika total produksi Batubara sebesar 425 juta metric ton seluruhnya diekspor, maka akan ada tambahan devisa sebesar US$ 3,68.
Konsekuensinya, PLN harus impor untuk memenuhi kebutuhan Batubara bagi pembangkit tenaga listrik sebesar 106 juta metric ton.
Devisa yang digunakan PLN untuk impor Batubara itu diperkirakan lebih besar dari pada devisa yang diperoleh dari ekspor seluruh produksi batubara.
Dengan demikian tidak benar bahwa pencabutan DMO harga Batubara menghasilkan tambahan devisa, yang dapat memperbaiki neraca pembayaaran.
Barangkali tidak adanya tambahan devisa itu menjadi salah satu pertimbangan bagi Joko Widodo untuk membatalkan rencana pencabutan DMO batubara.
Dia menambahkan, jika DMO Batubara dicabut, PLN, yang semester I/2018 sudah menanggung kerugian usaha sebesar Rp. 6,49 triliun, akan semakin berat beban biaya sehingga memperbesar kerugian PLN
Jika kerugian PLN dibiarkan berlarut-larut, maka tidak menutup kemungkinan PLN terancam bangkrut. Kalau PLN benar-benar bangkrut, Nusantara akan kembali gelap gulita.
Untuk mencegah kebangkrutan itu, alternatifnya PLN terpaksa harus menaikkan tarif listrik, yang akan memicu inflasi dan risikonya akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang akan memberatkan beban bagi rakyat miskin.
"Kalau benar rakyat miskin harus menanggung beban kenaikan inflasi, yang dipicu oleh pembatalan DMO Batubara, sungguh sangat ironis," ungkap Fahmy.