Laporan Reporter Kontan, Wahyu Tri Rahmawati
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga minyak kembali melaju setelah koreksi pada perdagangan kemarin. Kamis (27/9) pukul 7.09 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman November 2018 di New York Mercantile Exchange naik 0,78% ke US$ 72,13 per barel dari penutupan kemarin.
Meski menguat, harga minyak ini masih lebih rendah daripada penutupan hari Selasa pada US$ 72,28 per barel yang merupakan harga tertinggi tahun ini.
Harga minyak brent pun bergerak serupa. Harga minyak brent untuk pengiriman November 2018 di ICE Futures ini berada di US$ 81,83 per barel.
Harga minyak acuan internasional ini naik 0,60% ketimbang harga kemarin pada US$ 81,34 per barel.
Harga tertinggi minyak brent tahun ini yang juga merupakan level tertinggi sejak Desember 2014 adalah US$ 81,87 per barel yang tercapai Selasa lalu.
Baca: Di Depan Ratusan Jurnalis, Donald Trump Banggakan Otak Besarnya
Menteri Energi Amerika Serikat (AS) Rick Perry kemarin mengatakan bahwa AS tidak akan melepas stok minyak darurat untuk menutup penurunan pasokan akibat sanksi AS terhadap Iran.
Sanksi ini akan berlaku 4 November.
"Jika Strategic Petroleum Reserve dilepas, dampaknya minor dan jangka pendek,"kata Perry kepada Reuters.
US Strategic Petroleum Reserve (SPR) saat ini memiliki cadangan 660 juta barel.
Berdasarkan hukum AS, pemerintah bisa menjual hingga 30 juta barel minyak atau penggunaan sekitar 36 jam minyak di AS.
Tapi, AS menyerahkan produsen minyak lain untuk menstabilkan pasar.
Perry mengatakan, Irak bisa menambah pasokan hingga 300.000 barel per hari.
Pasokan sekitar 300.000 barel per hari juga bisa berasal dari Zona Netral Arab Saudi dan Kuwait.
Tapi, pada pertemuan akhir pekan lalu, OPEC dan Rusia tidak memutuskan penambahan produksi.
Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih hari Minggu lalu mengatakan bahwa dia tidak mempengaruhi harga minyak.
Pernyataan ini muncul setelah Presiden AS Donald Trump menurunkan harga minyak.
Sementara itu, Menteri Minyak Iran, Bijan Zangeneh mengatakan, Trump harus menghentikan campur tangan di Timur Tengah jika ingin harga minyak stabil.
"Trump mencoba mengurangi ekspor minyak Iran dan juga memastikan harga minyak tidak naik. Tapi, kedua hal ini tidak bisa terjadi secara bersamaan,"kata Zanganeh seperti dikutip ISNA.